NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mendekati peringatan pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 30 September, Indonesia tiba-tiba muncul dengan sangat lantang suara-suara penolakan akan diputarnya film Pengkhianatan G30S/PKI. Ada apa gerangan? Benarkah para pembela PKI mulai bermunculan dan hidup kembali? Setidaknya, dengan adanya suara-suara yang melakukan penolakan membuat bangsa ini tahu bahwa PKI tampaknya hendak dibangkitkan kembali.
Menurut Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, film pengkhianatan G30S/PKI itu sudah sangat mendekati kebenaran sejarah.
“Yuk nonton film Pengkhianatan G30S/PKI agar tahu dan melek sejarah. Film itu sangat mendekati kebenaran sejarah,” kata Fadli Zon seperti dikutip akun twitter miliknya, Jakarta, Sabtu (23/9).
Yuk nonton film Pengkhianatan G30S/PKI agar tau n melek sejarah. Film itu sangat mendekati kebenaran sejarah.
— FADLI ZON (Youtube: Fadli Zon Official) (@fadlizon) September 23, 2017
Fadli Zon menegaskan peristiwa 1965, PKI terlibat kudeta, bahkan dengan cara membunuh sejumlah tokoh nasional guna memuluskan langkahnya ke kursi kekuasaan.
“Yang bantai dan bunuh Pak Suryo, Ketua DPA RI dan Gubernur Jatim 1948 adalah pasukan induk PKI dipimpin Amir Syarifuddin. Pak Suryo yang dibantai PKI adalah tokoh pejuang 10 November 1945 di Surabaya. Dialah yang melawan Inggris dan ikut menggerakkan rakyat Jatim waktu itu,” terangnya.
Dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, kata dia, andil PKI hampir tidak ada. PKI dulu menyebut Proklamasi sebagai revolusi 1945 yang gagal, sehingga memilih jalan lain yakni membuat gerakan kudeta 1948.
“Musso denga arogan bilang ke Soekarno dan Hatta akan luruskan jalan baru revolusi Indonesia denga komunisme. Makanya memberontak tahun 1948. Ketika para pejuang bersiap hadapi agresi militer Belanda ke-2, eh PKI menusuk dari belakang dengan kudeta 18 September 1948. PKI memang pengkhianat bangsa,” cetusnya.
Ia melanjutkan, argumentasi mereka yang pro PKI 1948 selalu bilang ini soal Perang Dingin (Cold War). Yang jand sasaran fitnah mereka adalah Bung Hatta yang menyebarkan teror putih. Sementara, di Lubang Buaya PKI 1948 adalah Sumur Soco. Di sumur itu puluhan lebih tokoh ulama dan pemerintahan dibantai dimasukkan ke satu lubang oleh PKI.
PKI harus lumpuhkan dulu TNI baru hdapi Islam. Prolog kudeta PKI 1965 adalah provokasi di bbrp daerah, termasuk mau bubarkan ormas Islam.
— FADLI ZON (Youtube: Fadli Zon Official) (@fadlizon) September 23, 2017
“Karena revolusi adalah doktrin komunisme, tahun 1965 dicoba diulang lagi seperti tahun 1948. PKI kudeta pemerintahan yang sah dan bentuk Dewan Revolusi. Dewan Revolusi diawali dengan pembunuhan para Jenderal. Karena musuh utama PKI adalah TNI. Musuh PKI lainnya adalah Islam, para Kiai dan ulama. PKI harus lumpuhkan dulu TNI baru hadapi Islam. Prolog kudeta PKI 1965 adalah provokasi di beberapa daerah, termasuk mau bubarkan ormas Islam. Ormas-ormas Islam dituduh kontra-revolusioner khususnya yang mau diganyang PKI adalah HMI. Dimana-mana Pemuda Rakyat dan CGMI mau ganyang HMI. Kudeta PKI gagal karena TNI melawan didukung umat Islam. Banser NU dipimpin KH Yusuf Hasyim, omnya Gus Dur, salah satu yang paling ditakuti PKI,” jelas politisi Gerindra itu.
Menurutnya, KH Yusuf Hasyim termasuk tokoh paling anti PKI hingga akhir hayatnya. Seorang ulama yang berani, sadar sejarah, konsisten tanpa tedeng aling-aling. “Mayjen Suharto, Panglima Kostrad, tokoh TNI yang berani bersikap dan mengambil peran besar. Tanpa Suharto mungkin RI sudah jadi komunis waktu itu,” tambahnya.
Dijelaskannya, dari dua kudeta 1948 dan 1965 wajar kalau PKI terlarang sebagai organisasi dan partai. Dialah musuh utama Pancasila sesungguhnya, dan musuh NKRI.
“Seperti halnya NAZI yang sampai sekarang terlarang di Jerman, sudah pantas PKI tetap terlarang di bumi Indonesia. PKI adalah pengkhianat bangsa. Orang PKI, eks PKI atau simpatisannya tentu tak suka film itu karena membongkar borok pengkhianatan mereka. Tapi fakta-fakta begitu kokoh. Makanya argumentasi paling bodoh yang saya dengar antara lain soal tak ada penyiksaan sebelum dimasukkan Lubang Buaya atau Aidit tak merokok,” pungkasnya. (ed)
(Editor: Eriec Dieda)