Kita patut bersyukur atas anugerah kemerdekaan untuk bangsa ini.
Bayangkan jika kita masih diselimuti peperangan dan perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah. Seperti para pendahulu dan bapak ibu (founding fathers) bangsa ini yang rela mati-matian merebut kedaulatan dari tangan penjajah. Kita bersyukur berada di jaman ini, merawat dan membangun negeri dengan tangan manis.
Tak sedikit dari kita melewatkan bulan Agustus begitu saja. Padahal, bulan ini dapat menjadi momentum refleksi bagi kita sebagai bangsa bahwa kemerdekaan sejati kudu tetap kita rawat. Apapun konsekuensinya, jika kita lahir dari darah merah putih wajib bagi kita untuk menjaga amanah para pendiri negeri ini. Itulah yang sebenar-benarnya mencintai tanah air. Bukankah sering kita dengar hubbul wathan minal iman, mencintai negeri ini bagian dari iman. Bagaimana kita mencintainya?
Laiknya semangat seorang pecinta; kita kudu optimis, pantang menyerah, bekerja dengan penuh dedikasi, tak pernah berhenti belajar, dan yang terpenting mengisi kemerdekaan ini dengan pengabdian untuk ikut serta membangun negeri tercinta. Apapun profesi kita, jika kita menanamkan cinta tanah air di dalam hati kita masing-masing takkan pernah ada keluh kesah, kecurangan, keculasan, korupsi, ketimpangan keadilan, dan lain sebagainya.
Mempertahankan Keadilan
Kini, berbagai problematika kebangsaan dan kemanusiaan masih terus menggejala. Syukurnya kita tidak berada di negeri konflik dan pepeperangan. Namun demikian, permasalahan kebangsaan dan kemanusiaan belumlah sepenuhnya tuntas. Masih banyak pekerjaan kita, di antaranya melawan gerakan terorisme yang hendak meruntuhkan kedaulatan, masalah politik demi merebut kekuasaan, masalah pengangguran dan kemiskinan yang belum terentaskan, hingga pelanggaran hak asasi manusia yang semakin menjadi gunung es.
Penyelewengan kemanusiaan yang mengorbankan bangsanya sendiri, seperti halnya kejahatan korporasi, kriminalisasi, korupsi, dan penelikungan hak asasi manusia, apabila dibiarkan tumbuh subur tanpa adanya kontrol dari berbagai elemen masyarakat serta keberpihakan pada korban atau pihak yang selama ini termarjinalisasi perlahan kemerdekaan (liberte) sepenuhnya hanya sebatas isapan jempol belaka.
Tidak hanya yang melakukan kejahatan kemanusiaan. Penegakan hukum tebang pilih dan keberpihakan pada borjuasi-kapitalis secara tidak langsung dapat dikategorikan melanggar dan melakukan kejahatan kemanusiaan. Sebab, sikap apatisme telah membunuh hukum dan menyalahi fitrah manusia (human-being-conception) yang ‘born free and equal in dignity and right‘.
Dalam pandangan Maurie Cranston (1983), seorang pakar hak asasi manusia, menyebutkan bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal dan melekat pada setiap manusia sejak dia dilahirkan sebagai manusia. Karenanya, tidak ada yang bisa mengurangi atau mencabut hak asasi manusia, bahkan konstitusi sekalipun.
Penanganan hukum seyogyanya berlandaskan pada kemanfaatan, bukan kepentingan. Sebagaimana tertera dalam Deklarasi Universal pasal 29 (2); dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan seperti yang ditetapkan oleh hukum, semata-mata demi tujuan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang seharusnya terhadap hak dan kebebasan orang-orang lain dan memenuhi persyaratan-persyaratan moralitas, ketertiban umum serta kesejahtaraan umum yang adil dalam sebuah masyarakat demokratis.
Sejatinya, keberpihakan terhadap rasa kemanusiaan di berbagai belahan dunia telah diatur dan menjadi mufakat serta konsensus bersama di dalam Universal Declaration of Human Right. Akan tetapi dalam implementasinya, deklarasi yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 itu hanya sebatas undang-undang an sich.
Bagaimana tidak, hukum sekarang hanya menjadi paper, scripto saja, peraturan hitam di atas putih, advokasi hukum belum mampu sepenuhnya meretas keadilan di dalam kehidupan kaum bawah. Adanya egosentrisme dan kesadaran matrialis telah secara tidak langsung memangkas hukum yang berkeadilan, menyatarakan, dan membebaskan.
Kebijakan hukum dan keadilan yang belum menyentuh masyarakat bawah dapat dilihat dari merebaknya pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan. Ambil contoh minimnya advokasi terhadap korban penggusuran, korban idustrialisasi, marjinalisasi kerja buruh, polisi salah tangkap, angka kriminalitas semakin tinggi, korban politik, politasasi kepentingan, politisasi kekuasaan, belum lagi mengguritanya mentalitas korupsi dari elemen bawah hingga atas. Hal demikian kontras dengan cita-cita bangsa, terutama nilai Pancasila ayat ke-5, menuju kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia seutuhnya.
Hak asasi manusia yang tertelikung seakan menambah akut penyakit bangsa. Ditambah lagi persoalan kebangsaan yang belum tuntas, seperti halnya kemiskinan, eksploitasi, diskriminasi, pengangguran, PHK besar-besaran, dan masih mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok semakin memperburuk citra bangsa. Hal demikian merupakan bentuk ketidakadilan. Apabila dibiarkan tanpa adanya follow up yang berkesinambungan, perlahan tapi pasti akan menjadi ancaman bagi kesejahteraan dan martabat manusia.
Dalam melakukan pembelaan hukum seperti halnya pada kasus kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia perlu kiranya seluruh elemen masyarakat melakukan kesadaran informal. Yaitu kesadaran yang menjunjung tinggi nilai, etika, ketegasan, dan kebenaran.
Kesejatian kemerdekaan selain kesejahteraan bertumpu pada kesadaran mentalitas, kesadaran kemanusiaan (human awernes), kesadaran sosial (social awernes), dan kesadaran hukum (law awernes) secara holistik-integralistik. Pembelaan yang lebih mengepentingkan nilai-nilai kemanusiaan daripada nilai komunitas dapat menjadi salah satu implementasi nilai hak asasi manusia sebenarnya. Di sinilah kemerdekaan kita dapat dimulai dan terjewantah dengan baik. Merdeka dari ketidakadilan. Dirgahayu RI ke-72. Marilah kita isi kemerdekaan dengan berperilaku adil, maju bersama, dan kerja bersama.
Penulis: Nur Faizin Darain, alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM dan Pengurus Pusat GP Ansor. Kini Korwil Madura DENSUS 26.
Editor: Eriec Dieda