NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif EmrusCorner, Emrus Sihombing mengamini bahwa semua prajurit TNI dimanapun berada, baik di Markas Besar (Mabes TNI dan Angkatan), Kotama (Komando Utama) dan satuan jajaran TNI yang sudah, sedang dan akan memegang tongkat komando TNI senantiasa melakukan tugas pengabdian hingga akhir hayat mereka. “Itulah bukti dedikasi dan militansi pengabdian prajurit TNI. Mereka tidak bisa dipecah oleh upaya apapun, termasuk pembentukan opini. Percayalah,” tegas Emrus dalam siaran persnya, Jumat (18/8/2017).
Pernyataan Emrus ini merupakan sanggahan terhadap tulisan Ricky Sandriano (RS) di salah satu ruang komunitas kepenulisan cabang salah satu media online nasional yang berjudul “Panglima TNI korbankan TNI AU demi Popularitas”. Di akhir tulisan yang diposting pada Senin 14 Agustus 2017 itu, RS menyatakan: Bijaknya, Panglima TNI lebih baik fokus melaksanakan tugas untuk menjaga pertahanan negara dari segala ancaman. Pak Gatot harus menahan ambisi politik apalagi masa pensiun beliau tidak lama lagi. Sehingga, Gatot harus benar-benar fokus menjalankan tugasnya sampai memasuki masa-masa pensiun nanti.
Intinya, Emrus melihat ada kontradiksi yang terkandung di dalam tulisan RS dengan apa yang terjadi di lapangan. “Ketika saya membaca tulisan Sdr. RS yang berjudul “Panglima TNI korbankan TNI AU demi Popularitas” seperti termuat pada link di bawah ini. Isinya terlihat kontras dengan kenyataan pengabdian setiap prajurit TNI. Karena itu, saya mencoba memahami tulisan tersebut mulai dari judul, alinea demi alinea hinggga akhir tulisan, sajian data dan penggunaan pilihan kata. Sangat banyak ditemukan keganjilan mencengangkan,” jelasnya.
Baca: Dedikasi dan Militansi Prajurit TNI dalam MelaksanakanTugas Negara
Bila ada kesempatan diskusi publik dengan RS, harap Emrus, sangat menarik. Dari sejumlah yang mencengangkan, ada beberapa catatan saya berikut ini:
Pertama, kata dia, terletak pada pemberian judul. Tampaknya RS membangun konstruksi seolah pimpinan TNI “korbankan” satu angkatan tertentu demi popularitas. Ini konstruksi sama sekali keliru. Dalam membangun sebuah konsep, termasuk menyebut “korbankan”, harus dimunculkan melalui proses berfikir induktif. Pada sajian tulisan sama sekali tidak tampak data emperikal yang absah dan jenuh sehingga tidak tepat disebut “korbankan”.
“Isi tulisan hanya rangkaian opini tanpa dukungan data observasi mendalam. Karena itu, penyebutan “korbankan”, dari aspek komunikasi, sangat berpotensi menyesatkan publik. Untuk itu, seharusnya RS terlebih dahulu malakukan kajian holistik dan mendalam sebelum me-release konsep tertentu sebagai representasi keseluruhan data. Bila tidak, pembaca kritis bertanya, apa agenda RS di balik penulisan judul tersebut. Menurut saya, kata “korbankan” dalam judul tersebut menjadi tendensius dan provokatif,” terang Emrus.
Kedua, lanjutnya, soal penggunaan istilah “kriminalisasi”. Istilah kriminalisasi merupakan konsep ilmiah yang dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku tertentu yang belum termasuk pelanggaran hukum menjadi pelanggaran setelah diatur dalam hukum. Misalnya penyebar hoax, sebelumnya bukan pelanggaran. Namun setelah diatur dalam UU, maka itu menjadi pelanggaran. Karena itu, pemakaian kriminalisasi dalam tulisan tersebut kurang tepat.
Kendati demikian, kata Emrus, ada pengertian keseharian yang keliru, kriminalisasi diartikan sebagai perbuatan seolah menggunakan pasal hukum yang dipaksakan terhadap seseorang sehingga menjadi tersangka, misalnya. Penggunaan konsep kriminalisasi acapkali dimanfaatkan oleh orang prakmatis dengan menghalalkan semua cara karena tidak mampu melakukan “perlawanan” hukum.
“Tujuannya jelas, membentuk opini di ruang publik menempatkan dirinya sebagai dijolimi untuk menarik simpati publik. Seharusnya, orang tersebut berdebat pada objektivitas masalah dikaitkan dengan pasal hukum dituduhkan kepadanya,” ungkapnya.
“Berangkat dari penggunaan pengertian yang keliru tersebut, orang yang menyatakan ada tindakan kriminalisasi, sesungguhnya orang tersebutlah yang sedang melakukan kriminalisasi terhadap proses hukum sedang berlangsung. Bukankah ini dapat disebut sebagai tindakan merendahkan proses hukum itu sendiri? Untuk itu, hati-hati menggunakan istilah kriminalisasi yang tidak tepat,” imbuh Emrus.
Adapun yang ketiga, ialah soal kelaziman. Dengan mengutip pendapat pemerhati militer, RS menulis, pengangkatan Irjen TNI dari pejabat Danpom TNI tidak lazim. Ini menarik. Memperdebatkan kelaziman seseorang pada jabatan tertentu, baik setara atau lebih tinggi, sangat cair dan membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran karena argumentasi pasti serba relatif.
“Karena itu, orang yang mempertanyakan kelaziman bisa jadi punya berbagai tujuan, antara lain membangun kecurigaan di ruang publik terhadap pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan tertentu. Selain sangat tidak baik sekaligus tidak produktif. Sejatinya perdebatan pada pemenuhan persyaratan formal menduduki jabatan, bukan padqa kelaziman,” kata Emrus.
“Sepanjang pengetahuan saya masa Orba, Panglima TNI biasanya dari Kepala Staf Angkatan. Namun, Panglima TNI pernah dari Kepala Staf Umum (Kasum), yaitu Jenderal TNI Faisal Tanjung. Singkatnya, bisa saja tidak lazim, yang penting memenuhi syarat, memiliki kapabilitas dan integritas kukuh. Misalnya, apakah pengangkatan Mayjen TNI Dodik Wijanarko sebagai Irjen TNI sudah sesuai peraturan dan prosedur yang berlaku di lingkungan TNI? Sepanjang yang saya tahu, Irjen TNI merupakan jabatan Pati TNI Bintang tiga yang dapat diisi oleh Pati TNI Bintang Dua yang sudah eligibel dan melalui tahapan proses sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti),” tambahnya.
Keempat, berpolitik. Mengutip pendapat pengamat, RS mengemukakan gelagat Panglima TNI sarat muatan dan misi politik. Ini pendapat sangat sumir. Memang kita menyaksikan, Panglima TNI sering memberikan ceramah atau pembekalan tentang ancaman dan tantangan menghadapi kompetisi global saat ini dalam berbagai kesempatan, baik di universitas, instansi pemerintah atau swasta, ormas, partai politik, pesantren dan lain-lainnya.
“Panglima TNI memberikan gambaran kepada Publik ancaman dihadapi bangsa Indonesia saat ini di era kompetisi global agar bangsa kita waspada dan warning di masa datang. Sesungguhnya penjelasan panglima tersebut, menurut hemat saya, sebagai bentuk tanggungjawab preventif yang senantiasa dilakukan oleh seorang Panglima TNI,” terang Emrus menutup tanggapan kritisnya.
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman