Politik Dumping
Mengikuti ulasan G Martin Sirait, Master Regional Economic and Social Development dari University of Massachusetts Lowell, USA bahwa kebijakan subsidi pertanian yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat pada awalnya adalah untuk menolong petaninya agar dapat bertahan ketika terjadi Great Depression – dimana biaya produksi melonjak sedangkan harga pasar stagnan. Negara Eropa melakukan hal yang sama adalah untuk meningkatkan produksi makanan setelah dilanda Perang Dunia Kedua.
Memasuki abad 21, subsidi pertanian yang pada awalnya dilakukan oleh negara-negara maju untuk menghindari kelaparan di negaranya kemudian bergeser menjadi mengejar keuntungan dengan menunggangi atmosfir globalisasi perdagangan dunia. Sebagai bahan informasi, bahwa produk pertanian adalah komoditas kedua yang menghasilkan surplus perdagangan terbesar dalam ekonomi Amerika.
Ketika George W Bush menjadi Presiden Amerika Serikat menurut The New York Times adalah berkat dukungan kuat dari perusahaan agribisnis yang menaikkan sumbangan politisnya ke Partai Republik sebesar US$ 53 Juta, atau 72% dari penerimaan dana kampanye. Dan sebagai balas budi, Presiden Bush kemudian mengeluarkan kebijakan pertanian baru berupa peningkatan subsidi pertanian sebesar US$ 180 milyar untuk 10 tahun.
Menurut Oxfam, sebuah lembaga kemanusiaan dan pembangunan internasional, menurunkan laporan bahwa Negara-negara maju menghabiskan satu miliar dollar AS setiap untuk mensubsidi petani besar mereka. Nilai subsidi ini, enam kali lebih besar bila dibandingkan dengan bantuan kepada ke negara miskin. Uni Eropa mensubsidi petani gula sebesar 50 Euro per ton yang sama dengan lima kali harga pasar dunia. Hal inilah yang kemudian memicu transformasi para petani tradisional di negara maju, mengubah aktifitas bertaninya dengan prinsip-prinsip produksi masal model industri manufaktur sehingga terjadi surplus di pasar domestik. Nah disinilah yang tidak fair, kelebihan komoditas tersebut kemudian dilempar ke pasar internasional dengan harga serendah-rendahnya, bahkan lebih rendah dari harga produksinya (dumping). Akibatnya petani di negara-negara berkembang, apalagi negara miskin tidak mampu lagi berkompetisi dengan banjirnya produk pertanian dari negara maju. Bahkan keunggulan komparatif negara berkembang dengan upah buruh yang murah tidak ada pengaruhnya dalam menghadapi sistem globalisasi yang sedang berlangsung dewasa ini. Dengan kata lain, sistem globalisasi telah membunuh perlahan-lahan para petani lokal di negara-negara berkembang dan tertinggal.
Melalui sistem WTO, negara maju juga menerapkan tarif dagang yang tidak proporsional bagi negara berkembang dan tertinggal. Misal pajak impor dari miskin seperti Banglades bisa lebih tinggi sepuluh kali lipat dibanding Perancis. Demikian pula dari Vietnam bisa enam kali lebih tinggi dari Belanda. Bahkan produk pakaian India dikenai pajak 19% oleh Amerika, sementara dari Jepang, Perancis dan Jerman hanya 1%. Dengan ketidakadilan ini, bagaimana negara berkembang atau tertinggal bisa maju.
Pemiskinan global
Sampai hari ini, diperkirakan ada sekitar 2,7 miliar penghuni bumi ini hidup kurang dari dua dollar AS sehari. Mereka umumnya hidup di kantong-kantong pedesaan di Asia, Afrika, dan Amerika Tengah-Selatan. Mereka menggantungkan hidup dari sektor pertanian berskala kecil. Merekalah korban langsung dari kebijakan dumping oleh negara-negara maju yang berakibat hancurnya harga produk pertanian lokal di negara berkembang dan tertinggal.
Di Meksiko misalnya, 15 juta petani jagung tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasar pemeliharaan kesehatan mereka. Demikian pula petani di Afrika yang kini hidup kurang dari satu dollar AS sehari. Di Indonesia sendiri, petani jagung dan kedelai, mulai menjual tanah pertanian mereka untuk beralih usaha ke bidang non pertanian. Atau menjadi TKI/TKW bagi yang beruntung
Proses pemiskinan global boleh dikatakan adalah karena faktor sistem distribusi perdagangan dunia yang dikuasai oleh negara-negara maju yang populasinya cuma 15 dari penghuni bumi. Dalam dialog Utara Selatan, negara-negara utara lebih fokus membahas masalah investasi ketimbang kompetisi perdagangan yang adil. Hasil Putaran WTO di Bali yang mulus, semakin mengukuhkan bahwa negara-negara maju tetap ingin mempertahankan hegemoni mereka di muka buni ini.
Dari sudut negara kaya, kegagalan pembicaraan di Cancun bisa mengakibatkan kerusakan serius pada kampanye perdagangan global yang bebas dan adil (free and fair). Dari sisi negara miskin dan berkembang, sebagian kalangan menilai, kebuntuan ini merupakan kemenangan karena untuk pertama kali dalam pertemuan perdagangan dunia, negara kaya tak berhasil mendikte negara miskin. Tetapi kira-kira apa yang dipikirkan dan dirasakan Lee-jika ia masih hidup-dan ratusan juta rekannya sesama petani gurem yang terus mengalami pemiskinan global? (Banyu)
Editor: Achmad Sulaiman