KhazanahKolom

Tradisi Lombe, Mutiara Terpendam Kepulauan Kangean

NUSANTARANEWS.CO – Tradisi Lombe merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan warga di Pulau Kangean. Sepasang kerbau diadu kecepatannya dengan sepasang kerbau lainnya tanpa joki (tidak seperti kerapan sapi), pasangan kerbau itu digiring oleh kuda-kuda yang masing-masing dinaiki joki. Fungsi joki kuda untuk menggertak kerbau-kerbau itu sambil memukuli dari arah samping kanan-kiri, agar pasangan kerbau melaju lebih cepat sampai finish.

Ketika berlangsung “pertunjukan” ini, para pengunjung juga ikut berebut untuk memukul kerbau yang lari kencang di lapangan sepanjang jalan lapang (biasanya menggunakan sepanjang jalan desa) tempat kerapan atau lomba itu berlangsung. Alat pukulnya dari kayu dengan berbagai ukuran. Bahkan, para pengunjung ikut mengejar kerbau untuk bisa memukul berulang-ulang. Dari situlah fungsi joki kuda juga untuk menghalang-halangi penonton agar tidak banyak memukuli kerbau yang dilepas.

Menurut keyakinan masyarakat setempat, setiap kali seseorang dapat memukul kerbau yang sedang berlari itu, hanya sebagai diniatkan untuk memukul dan mengusir roh halus yang disimbolkan sebagai roh jahat yang bergentayangan menyusup atau menyerupai binatang. Karena di dalam kerbau disimbolkan terdapat sejumlah penyakit dan marabahaya yang bisa mengganggu keselamatan dan ketentraman warga, khususnya dalam pertumbuhan hasil pertanian.

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Tradisi lombe sudah ada sekitar tahun 1970-an, tetapi sebelum itu menurut orang tua dan kakek atau sesepuh sudah membicarakan tradisi lombe. Jadi, tradisi ini sudah sejak zaman dahulu sebelum tahu 1970-an. Pertama kali lombe lokasinya berada di Lorong Erreng Desa Angkatan Kecamatan Arjasa sampai tahun 1995. Setelah itu membuka lahan baru lagi di tahun 2010 di Desa Lorong Asta angkatan sampai 2012 akhir. Kemudian mengganti lokasi lagi di lorong Jebeng Desa Angkatan sampai 2015 akhir. Mulai tahun 2016 hingga sekarang membuka lagi di Binteng Dusun Bukkul Lapangan pantai indah Desa Kalisangka.

Menurut penuturan salah satu warta, Musahra (62), alasan kenapa selalu ada pergantian lokasi karena di pulau kangean tidak mempunyai lapangan resmi (tidak ada bantuan dari pemda). “Adanya lapangan ini dikarenakan adanya inisiatif dari masyarakat Kangean itu sendiri dengan cara urunan untuk menyewa lapangan,” tuturnya kepada peneliti, 15 April 2017.

Lombe, Dulu dan Sekarang

Dahulu tradisi lombe dilakukan sesudah menanam padi sampai waktu panen. Tujuannya untuk sembari menunggu panen. Sebelum orang melakukan tradisi lombe yaitu melakukan tatangenan (kerbau harus di taruh di depan rumah) dan paginya yaitu dimandikan dan dihias. Dengan tujuan, supaya tidak malu dalam lombenya dan pada malam tatangean ada ritual mamaca dan juga ada musik tradisional dan diiringi dengan tari tradisional.

Baca Juga:  Dampak Budaya Pop Pada Ekosistem Ekonomi Kreatif

Mulai dari tahun 2010 tradisi lombe mulai mengalami perubahan dengan menyesuaikan zaman lebih menjadi tradisi modern. Sedangkan pada tahu 90-an masih tradisi lombe kuno dengan sistem kekalahan dan kemenangan tidak ada yang menentukan. Sedangkan pada masa sekarang sudah ada finish dan start yang ditentukan oleh panitia dan kemenangan sudah ada yang menentukan. Dimulai tahun 2010 dalam satu tahun yaitu dilakukan dua kali Lombe, karena dipengaruhi oleh hasil  panen yang dua kali dalam satu tahun.

Tradisi lombe saat start dan finis ditandai dengan pengankatan bendera. Dalam satu kali pelaksanaan tradisi lombe dilakukan tujuh minggu dan minggu ke delapan atau kesembilan dilaksankaanya final atau berakhirnya Tradisi Lombe dan untuk final bekerja sama dengan bank BRI untuk hadiahnya. Ketika ada tradisi lombe harga kerbau semakin tinggi. Dan juga dilihat dari kualitas kerbau dengan kecepatan lari yang tinggi.

Jadi, tradisi lombe ini sangat berpengaruh terhadap harga di Pulau Kangean. Ketika tradisi lombe telat untuk dilaksanakan banyak masyarakat yang mendesak kepada panitia pelaksan untuk segera melaksanakan tradisi lombe.

Baca Juga:  Runtuhnya Realitas di Era Budaya Pop

Panitia tradisi lombe dibentuk berdasarkan musyawarah dan mufakat oleh para tokoh budaya Kangean dengan kreteria berpengalaman dan mempunyai rasa tanggung jawab. Tradisi lombe ini dilakukan oleh masyarakat Kangean karena meneruskan tradisi yang ditinggalkan oleh nenek moyang khususnya para petani. Sehingga akan membuat harga kerbau dari para petani. Peralatan kerbau sebelum pertandingan Onongan, Pangaler, Jemang, Salobung, Sentang, Cara-cara, dan Kronong.

Orang yang memelihara kerbau yaitu semua orang dari lapisan masyarakat yang berekonomi rendah hingga tinggi. Hal ini karena ketertarikan terhadap tradisi Lombe. Masyarakat yang menonton tradisi lombe yaitu dari kalangan anak-anak sampai orang tua. Kehadiran masyarakat yang menonton tradisi lombe yaitu sekitar hingga sampai 5000, meskipun cuaca tidak mendukung. Mayoritas penonton tradisi lombe yaitu dari kalang petani dan kalangan pegawai.

Peneliti: Kartika, Ulum, Irfan (Mahasiswa Universitas Negeri Malang)
Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts