NUSANTARANEWS.CO, Nunukan – Gemercik suara air menampar bebatuan terdengar bagai shimponi alam yang berpadu dengan kicauan burung serta suara binatang hutan lainya. Ketika kaki sudah sampai ditepi sungai, maka akan terpampang dalam pandangan sebuah maha karya Tuhan yang begitu luar biasa. Sebuah aliran sungai yang teramat deras bagai ditumpahkan dari hulu dengan bebatuan raksasa menghiasi sungai sepanjang 20 km tersebut.
Masyarakat setempat memanggil tempat eksotik di Sungai Pesiangan, Desa Labang, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara tersebut dengan nama Giram Luyu (giram= jeram, luyu= longsor bahasa Dayak-red). Penduduk setempat mengatakan bahwa pada tahun 1812 terjadi bencana longsor sehingga bebatuan di atas dan lereng bukit turun jatuh ke dalam sungai.
Bukan hanya aliran sungainya yang sangat eksotik, namun tebing sungai yang berupa dinding-dinding batu juga menampakan keindahan tersendiri buat siapapun yang memandangnya. Pun ketika kita memasuki hutan dikiri-kanan sungai, kita akan memasuki sebuah kawasan hutan yang sangat alami dihiasi flora khas Kalimantan antara lain tumbuhan kantung semar dan tak jarang penduduk setempat menemukan tumbuhan Anggrek Hitam yang sangat terkenal itu.
Tak Jauh dari Desa Labang, di lereng sebuah bukit di pinggir aliran Giram Luyu, kita akan melihat sebuah tugu berbentuk prisma dengan patung Burung Garuda berwarna emas berdiri dengan megah seolah-olah mengatakan betapa kokohnya NKRI. Tugu yang didirikan oleh Pemuda Penjaga Perbatasan dan Masyarakat Penjaga Perbatasan Indonesia tersebut tentu sangat beralasan mengingat letak Giram Luyu berada di OBP (outstanding boundary problem) atau wilayah yang sampai saat ini masih dalam perundingan antara RI-Malaysia.
Lumbis, salah seorang aktivis perbatasan mengatakan bahwa Giram Luyu ini sebenarnya bukan hanya sebuah tempat wisata warga Malaysia maupun turis mancanegara yang bermain arung jeram saja,namun juga menjadi saksi sejarah tentang pemetaan batas wilayah antara Kerajaan Inggris dengan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1912.
“Kenapa Desa Labang ini pada tahun 1912 menjadi pusat pemetaan, karena pada masa itu Hulu Labang atau kawasan Giram Luyu ini lebih maju dibanding area perbatasan lainya sehingga Garis Patok Perbatasan (GP) 1, diletakan ditempat itu,” ujarnya seraya menunjukan buku Verslag Derr Comise 1912
Untuk itu Lumbis menambahkan bahwa jangan heran apabila saat ini banyak wisatawan mancanegara yang bermain arung jeram di Giram Luyu karena menurutnya mereka masuk dari Malaysia tepatnya melewati Keningau dan Desa Bantul yang hanya ditempuh sekitar 15 menit untuk sampai di lokasi Giram Luyu.
Taufiq Johan, salah seorang Aktivis Lingkungan Hidup Kalimantan Utara mengatakan bahwa apabila Giram Luyu ini dikelola dengan baik, maka pasti akan menjadi destinasi wisata bukan hanya untuk Nunukan namun ia mengungkapkan bahwa Giram luyu pasti akan menjadi salah satu tempat wisata favorit di Indonesia.
“Arus sungainya itu luar biasa deras dan jeramnya sangat menantang adrenalin dan tempat ini sudah level Nasional sebagai tempat Olah Raga Arung Jeram. Saya berani mengatakan bahwa Giram Luyu ini tak kalah menantangnya dan tak kalah indah nuansa alamnya dengan sungai berjeram lainya di Indonesia,” paparnya, Senin (20/3/2017)
Taufiq menambahkan bahwa peran serta Pemerintah sangat penting dalam hal ini, mengingat akses menuju Giram Luyu hanya dapat ditempuh melalui jalur Sungai Sembakung yang menyambung ke lokasi Giram Luyu dan belum ada akses jalan darat untuk sampai ke pemukiman terdekat yakni Desa Labang.
“Kalau saya bilang, dengan mengembangkan Giram Luyu menjadi destinasi bahkan obyek wisata, itu bukan hanya sebagai rasa syukur pada Sang Pencipta tapi juga sebagai bentuk lain dari menjaga kedaulatan NKRI. Jangan sampai dong kita kalah dengan Malaysia yang mampu memberikan akses kemudahan pada wisatawan menuju Giram Luyu sedangkan kita tak mampu,” pungkasnya. (Edy Santri)
Editor: Sulaiman