NUSANTARANEWS.CO – Enam puluh delapan (68) tahun silam, tepatnya 1 Maret 1949 sebuah serangan besar-besaran di Yogyakarta sukses mengejutkan dunia internasional. Momentum heroik ini merupakan skuel penting dalam lipatan sejarah revolusi Indonesia. Tak pelak situasi ini membuat posisi daya tawar Indonesia saat itu semakin kuat di mata dunia internasional.
Keberhasilan Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama rakyat saat mempecundangi Belanda dalam menguasai Ibu Kota Yogyakarta yang hanya hitungan jam, sukses mengangkat moril bangsa Indonesia kala itu di perundingan PBB. Sekaligus menegaskan bahwa TNI masih bertaring.
Namun ada hal menarik yang kadang luput dari catatan sejarah masa lampau, tentang keberadaan Radio PC AURI yang berhasil memviralkan kabar Serangan Umum 1 Maret ke seluruh penjuru dunia. Bahkan Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi mengaku gembira mendengar siaran radio dari Burma, mengenai serangan TNI dan rakyat terhadap Belanda.
Viralnya kabar tersebut tak lepas dengan adanya siaran berantai dari Radio PC AURI. Bahkan dunia internasional seakan bergidik, ketika TNI mampu mengobrak-abrik pertahanan Belanda di bawah pasukan kavelerie, persenjataan berat – artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Praksis, peristiwa 1 Maret dan kesuksesan Radio PAC AURI yang memviralkan tentang kekuatan militer tanah air, berhasil menciutkan nyali lawan sekaligus menyegel NKRI dari penjajah.
Penting untuk diketahui bahwa keberadaan dan aktivitas Stasiun Radio PHB AURI PC-2 Playen yang berada di Gunung Kidul ini disadari atau tidak, sesungguhnya telah berkontribusi besar. Ini tak terlepas dari sumbangsih Opsir Udara III Boedihardjo dibantu Basir Surya dan Sersan Udara Soeroso, masing-masing Komandan dan Kepala Bagian PHB Pangkalan Udara Gading yang membangun sebuah stasiun radio rahasia di sana. Tipe radio pemancar yang dipakai saat itu adalah People Cooperation.
Bisa dibayangkan, apalah arti Serangan Umum 1 Maret 1949 tanpa adanya Radio PC AURI yang berhasil memviralkan kabar tersebut ke belahan dunia. Pasalnya, ketika berita tersebut tersebar dan sampai ke Dewan PBB, menjadikan positioning Indonesia di hadapan dunia internasional menguat dan berimbas pada pengambilan keputusan dalam perundingaan PBB.
Hal ini merupakan keberhasilan dari manunggaling antara TNI dan rakyat yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu dilakukan dengan model penyergapan atau sabotase, tetapi juga bergerak secara frontal. Selain memang, situasi ibukota negara saat itu sangat tidak kondusif. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu telah melepas jabatannya sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengirimkan surat kepada Letnan Jenderal Soedirman untuk meminta izin diadakannya serangan.
Jenderal Sudirman menyetujuinya dan meminta Sri Sultan HB X untuk berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade 10/Wehkreise III. Sri Sultan HB IX mengadakan pertemuan empat mata dengan Letkol Soeharto di Ndalem Prabuningratan dan menghasilkan keputusan untuk mengadakan serangan.
Beberapa jam sebelum serangan umum berlangsung, sudah banyak gerilyawan yang mulai memasuki kota Yogyakarta. Tepat pada pukul 06.00 pagi, sirene penanda berakhirnya jam malam berbunyi. TNI memanfaatkannya sebagai tanda dimulainya serangan umum. [dari berbagi sumber]
Penulis: Romandhon