ArtikelBerita UtamaTerbaru

Indonesia Dalam Ancaman Bahaya Represi

NUSANTARANEWS.CO – Silang sengkurat kasus PT Freeport dengan pemerintah baru-baru ini menimbulkan reaksi keras dari Richard C Adkerson selaku Dirut dan CEO Freeport. Desakan pemerintah ihwal PP No.1 Tahun 2017 membuat Freeport meradang. Dimana Presiden Jokowi  memaksa Freeport mematuhi aturan dan ketentuan baru yang berlaku untuk menyerahkan divestasi  51 persen saham Freeport  kepada pemerintah, termasuk mengubah status Kontrak Karya (KK) Freeport menjadi Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK).

Di mata rakyat, sikap Presiden Jokowi ini tentu mendulang rasa simpatik dan bahkan ia akan dielu-elukan. Namun, ibarat pisau bermata dua situasi ini justru membawa ‘petaka’ bagi nasib ribuan warga Indonesia. Dimana fenomena PHK massal segera menanti. Ini menyusul pernyatan Richard C Adkerson yang dengan tegas akan mem-PHK 3000 karyawannya.

Freeport setidaknya memiliki 32.000 karyawan, baik karyawan tetap maupun karyawan lepas dari perusahaan kontraktor yang bekerja di area pertambangan di Mimika, Papua tersebut. Freeport pun pasang badan. Perusahaan yang mulai beroperasi sejak 1967 ini menyatakan telah mengubah status 12 ribu dari total 32 ribu pekerjanya, dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak.

Baca Juga:  Menang Pilgub, Cagub Luluk Janjikan Kesejahteraan Guru TK dan PAUD

Sampai di sini, Indonesia akan digiring menuju pada fenomena gunung es bernama pengangguran massif. Namun, mereka mungkin akan sedikit tidak khawatir. Sekalipun telah dipecat, mereka bisa memilih untuk melabuhkan tenaganya sebagai penyedia jasa ojek online.

Dalam konteks ini, mestinya publik perlu melakukan pembacaan kritis terhadap fenomena ojek online dan corak sistem kinerja ekonomi global. Indikasi kuat ancaman meningkatnya pengangguran dewasa ini sangat tampak manakala membaca fenomena merebaknya jasa ojek online. Sebagaimana diketahui, fenomena ojek online mampu memikat publik Indonesia.

Dengan iming-iming gaji besar perbulan melalui sistem kerja yang fleksibel berhasil membius jutaan orang. Konsekuensi logisnya, mereka akan lebih memilih menjadi driver ketimbang menjadi wirausaha atau bergelut di sektor industri kreatif. Ini cukup logis mengingat sistem kerjanya yang benar-benar ringan dan kondisional.

Ragam profesi orang tergiur dengan iming-iming jasa ojek online ini. Mulai dari akademisi, PNS, seniman, atlet, pekerja kantoran hingga rakyat biasa berbondong-bondong menekuni profesi baru tersebut (baca: Grab, Gojek, Blue Bird dll). Ironisnya, tak sedikit dari mereka justru lebih memilih menggeluti jasa ojek online dari pada frofesi yang sesuai minat bakatnya.

Baca Juga:  CTI Group Ajak Mitra Bisnis Kaji Peluang Hilirisasi Digital

Namun pada perkembangannya mereka mulai resah lantaran berbagai peraturan jasa ojek online dari hari ke hari seolah sengaja diperketat. Misal ketika hanya mendapat satu bintang dari konsumen, maka pihak perusahaan yang bersangkutan tidak memberikan order lagi. Tak hanya itu persoalan penunggakan gaji dan bonus bulanan kerap tersendat (baca: demo driver Grab). Ini hanya diagnosa awal, belum sebagai gongnya.

Bersamaan dengan itu, para pekerja asing dari berbagai negara secara massif masuk ke Indonesia. Mulai dari Cina, Singapura, Sri Lanka, India dan negara lain, menempati beberapa sektor strategis mulai dari perusahaan, pertambangan dan pertanian di Indonesia. Pada titik puncaknya, ketika jasa online sudah tak lagi seksi dan tak sejalan dengan ekspektasi yang dijanjikan, ini akan menjadi gejolak sosial baru di masyarakat.

Konsekuensi logisnya, mereka akan berhenti menggeluti jasa ojek online dan memilih untuk kembali pada profesi lama. Namun sayang, sektor pekerjaan baik tenaga kasar maupun kantoran ternyata telah diisi oleh para pekerja asing (baca temuan pekerja ilegal di Bogor, Surabaya dan Lamongan).

Baca Juga:  Pelaksana Hukum Melanggar Hukum, Luthfi Yazid: Dunia Hukum Perlu Pembenahan Total

Saat itulah, wabah pengangguran akan terakumulasi dalam skala besar. Ketika fenomena penggangguran menggejala maka tatanan sosial akan mengalami carut marut. Bahkan situasi ini pada ujungnya akan berimbas pada meningkatnya jumlah praktik kejahatan di Indonesia. Dalam terminology kehidupan sosial, pengangguran dan kejahatan ibarat sisi keping mata uang.

Ketika situasi bangsa mengalami ketidakjelasan dan meningkatnya gejala kejahatan, maka pemerintah akan memiliki alasan untuk bertindak represif kepada rakyat. Dengan dalih mengamankan gejolak sosial.

Pada puncaknya, represi pemerintah ini akan menjadi tameng untuk melegalkan sebuah rezim. Sekali lagi ini tentang dimensi pembacaan Indonesia di masa mendatang dengan mencoba penterjemahan sederet fenomena kekinian yang ada di negeri ini. Sekali lagi drama permainan ekononomi global dalam konteks ini bukanlah mitos terlebih gejala memasuki globalisasi gelombang ketiga terus menampakkan geliatnya.

Penulis: Romandhon

Related Posts

1 of 463