NUSANTARANEWS.CO – Suara terompet bersahutan di sepanjang jalan diiringi rintikan gerimis. Pemuda-pemudi lalu lalang dengan kendaraannya masing-masing disertai tawa dan canda meramaikan meriahnya malah tahun baru tadi malam. Mereka menuju lokasi-lokasi tempat berkumpul untuk mengikuti seremonial tahunan: bersuka cita menyambut pergantian tahun.
Kota Depok sebagai kota satelit ibu kota di malam tahun baru sangat ramai. Di sepanjang jalan Cinere dan Limo, meskipun agak jauh dari pusat kota Depok, jalanan macet total. Banyaknya masyarakat yang keluar rumah untuk merayakan tahun baru sebagai penyebabnya.
Di sela-sela keceriaan itu terselip satu pemandangan yang menarik perhatian saya. Di saat mengarahkan kendaraan ke pom bensin antrian sepeda motor panjang luar biasa. Ada mungkin 10 meter lebih. Niat mau mengisi bahan bakar saya urungkan. Hanya mampir ke ATM yang kebetulan ada di situ untuk sekadar mengisi dompet.
Bukan antrian kendaraan itu yang menarik perhatian saya, itu sih biasa. Tahun baru ditambah akan ada perubahan harga BBM, di SPBU selalu antri. Di samping SPBU ada jalan yang mengarah ke pemukiman warga. Di situlah yang menarik perhatian saya. Apa itu?
Seorang bapak tua usia 50 tahunan duduk di pojok jalan itu dengan baju basah dan raut muka yang terlihat capek. Di sampingnya terlihat satu lemari televisi yang terbuat dari kayu. Meskipun hujan gerimis tetapi ia tetap diam di situ. Saya perhatikan terus. Kasihan sekali gumam saya dalam hati. Merasa tertarik saya hampiri pak tua itu.
“Lemari TV ini untuk dijual pak?”
“Iya”
“Berapa?”
“Dua ratus lima puluh ribu”
Saya diam dulu sebentar. Sambil meraba-raba lemari yang terlihat sudah basah disiram gerimis terpikir dalam benak saya: kasihan sekali pak tua ini. Orang lain hura-hura tahun baruan ini masih saja berkeliaran menjajakan lemari malam-malam.
“Ayo angkut ke rumah saya”.
Tubuh kurus itu dengan sigap mengangkat lemari dan dengan agak susah payah mengatur posisi duduk di belakang sepeda motor saya. Dibonceng menuju rumah. Lemari di letakkan di pangkuannya.
“Dari pagi pak jualan lemari ini?”, tanya saya di sepanjang jalan menuju rumah.
“Iya”
“Bawa berapa lemari emang?”
“Cuma satu. Sudah keliling ke tiap perumahan dari pagi, badan sudah lemas belum laku-laku.”
Deeeg…seolah ada yang menghujam hati. Bayangkan, pak tua ini dari pagi memikul lemari ke sana-sini. Berat dan cuma satu. Marginnya paling berapa satu lemari. Itu pun belum tentu laku dalam sehari. Langsung teringat mendiang kakek saya yang juga selama hidupnya berjualan ke sana-kemari dengan memikul berat berjalan kaki berkilo-kilo.
Sesampainya di rumah segera lemari diturunkan. Saya sajikan minuman karena saya tahu pak tua itu capek. Ditawari makan berkali-kali tapi ia menolak.
“Dari mana asal pak?”
“Leuwiliang Bogor”.
“Ke sini sendirian pakai apa?”
“Bertiga diangkut mobil. Yang lain sudah laku lemarinya, tinggal saya doang. Mungkin karena saya sudah tua banyak berhentinya”, pak tua berujar sambil sedikit tersenyum.
“Emang berapa dapat untung dari satu lemari?”
“Gak banyak nak, lima puluh ribu. Kadang kurang dari itu”.
“Tiap hari begini jualan lemari atau gimana?”
“Nggak, paling seminggu sekali. Jualin punya orang. Sehari-hari sih buruh tani di kampung.”
“Punya anak berapa pak?”
“Sembilan”, jawab pak tua sambil tetap senyum.
“Banyak amat pak anaknya”.
“Iya, kan dulu gak seperti sekarang di-KB. Alhamdulillah, enam orang sudah berkeluarga tinggal tiga orang lagi. Sudah punya anak juga?”, tanya pak tua itu pada saya.
“Sudah. Tuh anak saya dua”, sambil menunjuk ke dua anak saya.
“Asli sini atau dari mana kampung?”, tanya pak tua itu lagi.
“Majalengka pak, istri Kuningan”.
Setelah minum pak tua yang mengaku nama Pak Rohim itu pun pamitan. Katanya tak bisa
lama-lama karena harus cepat pulang nanti ditinggal oleh teman-temannya.
“Bareng saja pak ke depannya. Saya juga mau lewat situ lagi”, ujar saya sambil mengambil uang dari dompet yang tadi diambil dari ATM.
“Ini pak untuk lemarinya. Tak usah dikembalikan. Sisanya buat tahun baruan keluarga”.
Sebelum pergi saya tak lupa minta izin untuk bisa mengambil foto Pak Rohim dengan kamera saya.
Setelah mengantar Pak Rohim ke tempat awal di dekat SPBU, saya kembali meneruskan perjalanan. Benar apa kata dosen saya, ia pernah bilang begini: “Itulah pentingnya harapan. Seorang kakek misalnya, tetap berjualan menjajakan es di saat hujan. Bukan ia tidak tahu orang tidak mungkin makan es di saat hujan, tapi karena ada harapan di dalam dirinya. Orang-orang seperti itulah yang harus kita hargai. Tetap semangat mengusung harapan meskipun secara logika tak masuk akal”. [harjasaputra]