Politik

Sistem Pilpres Langsung Disebut Potret Demokrasi Liberal Era Reformasi

Pemilihan Umum Tahun 2019. (Foto: Ist)
Pemilihan Umum Tahun 2019. (Foto: Ist)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sistem Pilpres langsung dinilai menjadi potret demokrasi liberal yang dipraktikan di era reformasi. Institut Soekarno Hatta Komunikasi Politik UMJ, M Hatta Taliwang mengatakan sistem one man one vote menyamakan suara satu orang gila dengan satu guru besar. Kata dia, ini kegilaan yang tiada taranya.

Menurutnya, sistem pemilihan langsung (pileg dan pilpres) ala demokrasi liberal di era reformasi merupakan praktik yang sangat buruk. Seluruh ongkos pelaksanaan sistem tersebut sangat mahal ditinjau dari berbagai aspek mana pun.

“Biaya secara ekonomi sangat mahal, biaya KPU, biaya dari kantong capres dan lain lain. Biaya sosial, psikologis juga mahal. Suasana kampanye merusak hubungan sosial psikologis masyarakat karena banyak hoaks hingga fitnah, hubungan antar warga kurang harmonis dan saling prasangka dan lain-lain,” kata Taliwang dikutip dari catatan tertulisnya, Selasa (8/1/2019).

Lebih gila lagi sistem pemilihan langsung itu telah mengangkat sejumlah isu sensitif yang menyangkut soal suku, ras, antar golongan sampai soal agama. “Isu-isu sensitif soal suku, ras,antar golongan, agama sampai tetek bengek soal cara beribadah diumbar hingga mengancam persatuan,” sebutnya.

Baca Juga:  Alumni Lemhannas RI Minta Kejari Inhil, Inspektorat, dan Tipikor Periksa Kominfo

“Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih adalah indikasi bahwa dengan cara apapun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih 31 juta yang misterius itu. Ini sesuatu yang sangat tidak logis,” paparnya.

Menurutnya, sistem pilpres langsung sangat mudah diintervensi dengan berbagai instrumen yang potensial dikendalikan penguasa. Apalagi jika berkonspirasi dengan pemilik modal untuk menggolkan oknum yang mereka inginkan.

“Instrumen seperti lembaga survei, akademisi tak bernurani, intelijen resmi atau partikelir, aparat keamanan, birokrat, LSM, ormas, media massa bejat, dan lain-lain dengan uang, janji jabatan, permainan pajak, permainan hukum bisa dilibatkan dalam konspirasi. Aparat keamanan, hukum dan birokrat yang mestinya netral tanpa sadar atau dg sadar sering terbawa arus oleh godaan godaan diatas,” urainya.

(eda/bya)

Editor: Almeiji Santoso

Related Posts

1 of 3,066