NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Izha Mahendra menyebut bahwa gugatan judicial review atau pengujian materi Undang-Undang (UU) Pemilu 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) sangat berat. Bahkan, Yusril mengaku sudah 4 kali UU itu diajukan di MK dan selalu ditolak.
“Kita sudah 4 kali ajukan pengujian UU ini di MK dan selalu ditolak. MK selalu mengatakan, meskipun seandainya UU itu dinilai buruk bukan kemudian berarti inkonstitusional,” ujar Yusril di Jakarta, Senin (21/8).
Yusril mengatakan, awalnya ia akan menggugat dengan menggunakan nama pribadi, tapi berdasarkan pertimbanganya, gugatan akan dilakukan melalui partai PBB. “Awalnya saya akan mengajukan gugatan lewat pribadi, tapi khawatir karena legal standing takutnya ditolak, makanya menggunakan partai PBB,” kata dia.
Yusril beralasan, menggunakan partai PBB karena tidak ingin ditolak gugatan ke MK. “Apalagi sesuai dengan Pasal 6A ayat 5 dan Pasal 22 E ayat 6 diatur dalam undang-undang, bahwa calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh peserta pemilu,” ujar Ketum PBB ini.
“Partai PBB adalah partai peserta pemilu pada 2014, jadi punya hak untuk mengajukan Capres dan Cawapres. Jadi secara otomatis partai PBB akan maju menjadi peserta Pemilu 2019,” kata Pakar Hukum Tata Negara itu.
Ia menyebutkan bahwa judicial review yang akan diajukan ke MK bukanlah jalan yang ringan. Sebab, sebelumnya pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia Effendy Ghazali sudah pernah mengajukan gugatan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden.
Dalam gugatan itu, Effendy Ghazali mengajukan Pasal 9 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008. Namun, gugatan yang dikabulkan hanya Pemilihan serentak, sementara ambang batas yang digugat sebesar 20 persen kursi DPR RI dan 25 persen suara nasional ditolak MK ketika itu.
“MK menggunakan asas rasionalitas, moralitas, dan keadilan intratable. Meski undang-undang itu dinilai buruk seperti president threshold maka bukan berarti tidak konstitusional,” papar Yusril.
Yusril meyampaikan bahwa MK telah menyatakan tidak mungkin pihaknya membatalkan UU yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang secara sah. Oleh sebab itu, Yusril menyebut jalannya maju pada Pilpres 2019 bisa tertutup akibat syarat presidential threshold 20 persen tersebut.
“MK menyatakan bahwa pihaknya tidak bisa membatalkan suatu UU yang merupakan kewenangan suatu lembaga pemerintah yang sah atau open legal policy. Kecuali secara nyata melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable,” ungkap dia.
Padahal, menurut Yusril, ketiga hal tersebut bukanlah hal yang dapat diputuskan secara eksplisit. Karena itu Yusril menyimpulkan perjuangan menguji UU tersebut ke MK hampir sia-sia.
“Jadi sudah jelas dapat dipastikan pengujian UU ini akan ditolak oleh MK. Jadi ini berat. Apalagi ketiga hal itu tadi merupakan sesuatu yang tidak eksplisit dalam konteks konstitusi tapi lebih ke persoalan hukum. Jadi bagaimana kita mau debat di MK, jadi ini berat,” tegas dia.
Yusril berujar, pengajuan UU pemilu yang dilakukan selama ini mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945. “Sudah habis diuji dengan UUD 1945 tapi selalu ditolak oleh MK. Yang dikabulkan hanya Pemilu serentak, itu pun Pemilu 2019,” tandas Yusril.
Sebelumnya, Yusril berniat bakal maju pada Pilpres 2019 mendatang dengan dukungan PBB. Namun niatnya tersebut terhalang akibat UU Pemilu yang mensyaratkan calon presiden untuk diusung parpol yang memperoleh suara sah 20-25 persen di Pilpres sebelumnya.
Pewarta: Richard Andika
Editor: Eriec Dieda