Wukuf dan Berkemah di Padang Arafah – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch*

Lukisan "Saat Wukuf di Arofah", CA_1409_08, gambar 40×29 cm, frame 60×49 cm, koleksi Rono Harsodjo (galerilukisancaknug1)

Lukisan "Saat Wukuf di Arofah", CA_1409_08, gambar 40×29 cm, frame 60×49 cm, koleksi Rono Harsodjo (galerilukisancaknug1)

Berkemah di Padang Arafah

Sebutir debu terbakar di Arafah, di antara bermilyar batu dan rindu.

Debu yang berselimut debu, debu yang terbungkus debu, debu yang terpanggang kobaran cinta saat jerit taubat membentur langit menjadi terik kemarau hati.

Sebutir debu yang mengeja lafal istighfar, menjadi gelombang rasa perih dan penyesalan atas semua masa lalu yang gersang, jiwa dahaga berjubah pura-pura, senandung cinta tanpa nada.

Sebutir debu di Padang Arafah adalah diriku yang benar-benar sebatangkara.

Seakan Mahsyar padahal belum apa-apa, tapi ubun-ubunku semakin mendidih karena cinta yang gagal menyembelih dirinya.

Berkemah di Padang Arafah, berkain kafan, sebutir debu menjelma rindu, memandikan cinta dengan air mata.

Wukuf

Tiba-tiba aku melihat langit terbuka. Langit Padang Arafah. Wajahku ada dimana-mana, dimanakah sesungguhnya diriku?

Takbir tak sembarang takbir, tapi gemuruh suara para Nabi yang menggedor langit dan bumi. Takbir para Rasul atas nama cinta dan rindu.

Arafah adalah rumah sejati, rumah paling suci, tempat semua jiwa pasti kembali. Pancaran segala ilmu, cahaya pengetahuan, taburan bintang dan matahari yang menjadikan semesta terang benderang.

Di Padang Arafah kita berhenti, seluruh mata yang kita miliki menatap tajam pada diri sendiri. Mata hati menatap erat ke pusat mata hati. Peziarahkah kita, ataukah manusia yang tersesat di jalan kebenaran dan kesabaran?

Gemuruh talbiyah terus meronta di dalam dada, meremukkan segala kesombongan dan sifat takabur dalam jiwa yang hampa.

Di Padang Arafah, tak akan lagi kutemukan Iblis, Qorun, dan Fir’aun dalam tiap tarikan nafasku. Bagaimana bisa hidup hanya mengunyah sampah dan menyantap sisa-sisa?

Wukuf itu diam, berhenti, dan diam di Padang Arafah adalah merangkum fajar dan senja, menyempurnakan syahadat, menjumlahkan rakaat, mengutuhkan puasa, dan nestapa jiwa disucikan dengan zakat sesuai takarannya. Kemudian diam, berhenti, merenungkan semua detak jantung dan denyut nadi, lalu bertanya: sudah manusia khalifahlah kita ini?

Inilah tempat dimana cinta sejati menemukan alamat sejati, sebagaimana Nabi Adam bertemu Ibu Hawa, seperti Nabi Ibrahim menemukan Nabi Ismail putra tercintanya.

Tapi cinta harus dibuktikan dengan kerelaan untuk ikhlas berkorban.

Dibalut kain kafan, Padang Arafah seakan menjelma lukisan keabadian. Tak ada ranting yang patah, tiada darah yang tumpah, sebab setinggi apa pun pangkat duniamu, sebanyak apa pun harta bendamu, serta apa pun warna kulitmu, semua akan kembali ke sini, di Padang Arafah ini, dengan kain putih dan jiwa yang fitri.

 

Gus Nas

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Exit mobile version