NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menanggapi pidato Visi Indonesia yang disampaikan Presiden terpilih 2019-2024 Joko Widodo di Sentul, Bogor pada tanggal 14 Juli 2019 lalu, Direktur Eksekutif WALHI, Nur Hidayati menyebutnya sebagai visi mundur Jokowi untuk Indonesia.
Ia menjelaskan, pernyataan Jokowi sebagai Presiden terpilih pada teks lengkap pidato Visi Indonesia secara umum tidak sejalan dengan komitmen politiknya yang tertuang dalam Nawacita II yakni meneruskan jalan perubahan untuk Indonesia maju: berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.
“Lima tahapan Visi Indonesia ala Jokowi memperlihatkan dominasi keberpihakannya pada kepentingan bisnis atau investasi, bukan mengabdi pada kepentingan rakyat,” ujar Nur Hidayati dalam siaran persnya, Selasa (16/7/2019).
Dirinya menambahkan, narasi yang disampaikan Jokowi, khususnya pada tahapan keempat lebih tepat disebut sebagai visi mundur untuk mewujudkan keadilan sosial ekologis dan semangat melahirkan “negara hadir” sebagai otoritas yang memberikan perlidungan sekaligus pelayan kesejahteraan dan keselamatan bagi rakyatnya.
Baca Juga: Pidato Jokowi Dinilai Bangun Optimisme, Tapi Semuanya Harus Dibuktikan
Selain itu, menguatnya narasi mengundang investasi yang seluas-luasnya dalam rangka membuka lapangan pekerjaan, mempertegas skenario bermuka dua yang dimainkan selama hampir lima tahun ini. Bahkan pada pidato Visi Indonesia, wajah baiknya dalam skenario bermuka dua semakin mengecil.
“Beberapa pernyataan Jokowi, kebijakan serta dokumen janji politiknya sebenarnya saling kontradiktif, antara keberpihakan pada kemanusiaan dan lingkungan hidup vs keberpihakan pada investasi,” jelasnya.
Sementara itu menurut Manager Kajian Kebijakan WALHI, Boy Even Sembiring, upaya menggenjot investasi guna membuka kran lapangan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak lebih dilihat hanya sebagai trickle down effect bagi rakyat kebanyakan menjadi sebuah logika yang dipaksa logis.
“Padahal pandangan tersebut adalah pandangan usang dan sudah waktunya ditinggalkan. Rakyat semestinya ditempatkan sebagai subjek yang mampu mengelola kekayaan alamnya melalui kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat,” ujar Boy Even Sembiring.
Selanjutnya, pada tahap keempat. Jokowi lagi-lagi merelasikan semangat mereformasi birokrasi dengan mempercepat izin. Hal ini senada dengan pernyataannya yang memerintahkan Menteri LHK, Siti Nurbaya untuk menutup mata dalam memberikan izin lahan.
“Hal ini tentu kontradiktif dengan semangat penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam yang terus belangsung,” jelasnya.
Selain itu lanjut dia, juga bertentangan dengan semangat mengeluarkan kebijakan permanen menyelamatkan kemanusiaan dan lingkungan hidup Indonesia yang mulai dijanjikan sejak 2014. Sejumlah rancangan regulasi juga mengabaikan lingkungan hidup dan rakyat, sebut saja RUU Pertanahan, RUU Perkelapasawitan, proyek stratgis nasional (PSN), P10/2019 tentang Penentuan dan Penetapan Puncak Kubah Gambut Berbasis KHG, Perpres RTRW.
Terlebih sebelumnya Presiden juga memerintahkan agar Menteri dan Kepala Daerah tutup mata terkait perizinan, yang kesemuanya senafas untuk memuluskan kepentingan investasi dan komodifikasi tanah. Ironinya, regulasi yang melindungi rakyat dan lingkungan hidup justru jalan di tempat, seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Air.
“Pada awal pidatonya, Presiden terpilih menyebutkan konteks global yang kemudian dijadikan acuan untuk perubahan strategi pencapaian visi Indonesia. Sayangnya, Jokowi juga tidak memahami secara utuh persoalan yang saat ini justru menjadi salah satu isu prioritas bagi para pemimpin dunia, antara lain isu perubahan iklim yang semakin nyata menjadi ancaman terhadap keselamatan makhluk hidup ke depan,” kata dia.
Narasi investasi yang disampaikan Presiden dalam pidatonya selain bertentangan dengan komitmen politik yang tertuang dalam Nawacita pada misi ke-4 yakni Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan, dimana pembangunan ekonomi harus memperhatikan daya dukung lingkungan hidup agar pembangunan menjadi berkelanjutan.
Selain itu, dalam konteks global sebagaimana yang menjadi landasan berpikir global ala Jokowi, juga bertentangan dengan komitmen dalam misi sebagaimana yang tertuang dalam point 4.2 yang menyebutkan “Mitigasi Perubahan Iklim Dampak perubahan iklim menjadi permasalahan global. Indonesia harus mengambil bagian dari upaya mitigasi terhadap dampak perubahan iklim”.
“Alih-alih menggenjot investasi, bahkan dengan menggunakan diksi ancaman bagi siapa saja yang menghambat investasi dikhawatirkan justru meningkatkan kerentanan terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber daya alam/agraria. Karena selama ini, para pejuang lingkungan hidup/agraria acap kali distigma sebagai kelompok orang yang menghambat investasi dan pembangunan,” tandasnya.
Pewarta: Romandhon