Uang, Foto Pahlawan dan Senyum Sang Dewan

Bank Indonesia Keluarkan Uang Baru/Foto: Dok. VIVA.co.id/Nadlir

Bank Indonesia Keluarkan Uang Baru/Foto: Dok. VIVA.co.id/Nadlir

Oleh: Hariyanto Nukman

NUSANTARANEWS.CO – Pada media sosial, saat orang-orang ramai meributkan tentang tampilan mata uang rupiah baru yang kontur gambar dan gradasi warnanya mirip dollar dan yuan, saya justru punya ingatan cerita lain tentang uang.

Begini ceritanya:

Pernah suatu hari ketika meeting pagi, dalam masa percobaan kerja selama tiga bulan di sebuah lembaga keuangan swasta berkelas nasional, yakni pada akhir tahun 2011 silam, supervisor-ku berkata, “Dalam perkara uang, semua orang memiliki agama yang sama!” jelasnya panjang lebar saban hari seperti khutbah keagamaan yang membosankan.

Entah kalimat itu dikutipnya dari buku motivasi mana. Waktu itu kami tidak tahu persis, dan sebagai bawahan kami hanya bisa mengiyakan tanpa harus cerewet bertanya perihal ini itu dan lain sebagainya. Hubungan atasan dan bawahan hanya mnegenal dua ayat pasal: 1) Atasan tidak pernah salah. 2) jika atasan salah, maka lihat pasal satu. Begitulah kami sering diperingatkan jika ada di antara kami yang berposisi sebagai marketing mencoba untuk menginterupsi keadaan.

Supervisorku itu tetap bersemangat memberikan kami wejangan agar kami mampu mencapai target pencairan kredit meski dengan penjualan tingkat suku bunga yang lumayan tinggi dibandingkan dengan ukuran suku bunga yang diberlakukan oleh lembaga keuangan lain kepada setiap debiturnya.

Kalimat sakti dalam tanda kutip ganda itu masih kuingat hingga hari ini (21/12) ketika membaca berita. Oh, tidak, tidak! waktu itu saya tidak sedang membaca berita dengan serius. Saya hanya sambil lalu saja sambil membolak-balikkan halaman koran untuk mencari iklan lowongan pekerjaan pada iklan mini yang biasa hurufnya ditulis kecil-kecil. Itu pun letaknya seringkali berada di antara iklan komersial yang ukuran gambarnya jauh lebih besar dengan tampilan yang eyecathing.

Koran lokal itu adalah koran pertama dan terbesar di kotaku yang berlabel JPG miliknya mantan menteri di era presiden SBY. Salah satu beritanya mengangkat isu berita hasil wawancara dengan Ketua Komisi III DPRD tentang tanggapannya soal tampilan gambar pahlawan mata uang rupiah yang baru. Anggota dewan tersebut, sebut saja namanya Rosihan (nama anggota dewan yang sebenarnya), memperingatkan agar Bank Indonesia lebih berhati-hati dalam pencantuman gambar pahlawan, lantaran dikahwatirkan akan dapat memunculkan kecemburuan sosial bagi daerah lain yang gambar pahlawannya tak pernah diabadikan setiap kali adanya perubahan gambar mata uang giral rupiah yang baru. Walaupun gambar sosok pahlawan yang dimiliki setiap daerah sekadar mendapat jatah nampang wajah di pecahan mata uang seribuan.

Tak lupa pula koran lokal itu memasang foto si anggota dewan dengan senyum menawan. Lantas hati kecil saya pun tergelitik berbisik dan seolah-olah ingin berkata seperti menentang keadaanku yang sedang mencari keberuntungan lewat iklan lowongan pekerjaan di koran, “Justru senyummu itu yang mengundang kecemburuan, sebab kau dewan, dan aku pengangguran yang sedang butuh uang!” kataku.

Kuasa gambar

Gambar atau foto sekarang ini memang sudah tak sekadar berfungsi sebagai reproduksi tentang sesuatu objek rupa atau hanya untuk mengabadikan benda dan momen peristiwa tertentu saja. Tetapi foto juga menjadi simbol tanda dan penanda sebuah ingatan, terlebih lagi foto tokoh pahlawan nasional yang diabadikan di dalam uang giral. Seperti pendapat salah satu anggota dewan tadi, pencantuman foto atau gambar pahlawan di lembaran uang adalah salah satu cara terbaik untuk mengenang dan menghargai jasa para pahlawan, selain lewat monumen patung tentu saja. Kenapa pilihannya kemudian harus dalam mata uang? Bisa jadi besar kecilnya jasa pahlawan dapat dinilai dari penempatan fotonya dalam lembaran nominal mata uang seperti foto presiden Soekarno di lembar mata uang ratusan ribu dan dulu foto presiden Soeharto di lima puluhan ribu.

Foto juga mungkin penanda strata sosial kekuasaan dan besar kecilnya pengaruh seseorang. Negara ini telah membuktikan bahwa gambar dan foto adalah azimat ampuh untuk misi kekuasaan dan proyek politik. Kemampuan menciptakan tanda dalam eksplorasi ekspresi gambar bisa jadi sebagai jaminan kelanggengan pengaruh kekuasaan. Strategi kampanye politik modern pun kerap menggunakan foto sebagai media komunikasi untuk memperkenalkan sosok tokoh kepada calon pemilihnya pada ajang level pertarungan politik tertentu, mulai dari tingkat pemilihan calon RT sampai tingkat pemilihan presiden.

Ingatan tentang seseorang memang acapkali dihadirkan melalui gambar dan foto. Begitu besarnya pengaruh foto, sehingga kekuasaan pun seringkali ditandai dengan foto dan gambar.

Orde kekuasaan pun tumbuh dengan gambar. Setiap pergantian kekuasaan di negara ini ditandai dengan peristiwa pergantian foto.

Tata letak tinggi dan rendahnya penempatan foto pun jadi pertimbangan tersendiri untuk menandai wibawa kekuasaan seseorang. Contohnya foto poster presiden selalu menempel pada di dinding ruangan kantor yang lebih tinggi. Berbeda dengan foto sosok pacar misalnya seringkali ditaruh di dalam dompet seperti penggalan lirik lagunya grup Slank, “Masihkah ada fotoku di dalam dompetmu?” meskipun foto kekasih dalam dompet ditaruh di saku belakang celana; jauh di mata, namun dekat di pantat. Wow! ***

Hariyanto Nukman

Hariyanto Nukman, Lahir di Bima dan besar di Aikmel Lombok Timur pada 1983. Sering menulis esai dan opini dengan nama Antosa Rakatesa. Menjadi aktor di teater Embrio Lombok dan Pernah mendapat Penyutradaraan Terbaik II pada Lomba Monolog Peksiminas VIII di Makassar pada tahun 2006 mewakili Teater Putih FKIP Universitas Mataram.  Karya tulisannya dipublikasikan di Majalah Gong, Harian Suara NTB, Lombok Post, Koran Kampung, Risalah Seni, dan karya puisinya tergabung dalam antologi komunal; Kembang Mata (2014), Ironi bagi Para Perenang (2015). Ia juga sebagai salah satu founder Komunitas Akarpohon Mataram. Pernah bekerja di beberapa bank swasta nasional. Saat ini bekerja tidak tentu, sambil tetap aktif membidani Komunitas KlaSiKa Lombok.

Exit mobile version