Telkom Dinilai Jadi Sapi Perahan

Kantor Telkom/Ilustrasi/Istimewa/Nusantaranews

Kantor Telkom/Ilustrasi/Istimewa/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Indonesian Club Gigih Guntoro menyadari betul bahwa Telkom sebagai BUMN telekomunikasi milik Indonesia tidak bebas dari praktek korupsi. Menurutnya, banyak kejahatan korupsi dengan berbagai modus pernah terjadi dan bahkan sampai saat ini terus berlangsung di tubuh Telkom.

Dirinya menilai kuatnya dugaan praktek korupsi di tubuh PT Telkom saat ini mencerminkan adanya dinasti politik korupsi. Tak hanya korupsi, tetapu juga kolusi dan nepotisme.

“Tidak heran jika kejahatan korupsi yang dilakukan oleh pejabat Telkom bersatu dengan oligarki politik kekuasaan, selalu berakhir kandas di depan hukum. Hukum seakan tak sanggup menyentuh kekuatan-kekuatan politik yang bersekutu dengan elit pejabat. Sehingga menjadikan Telkom sebagai sapi perahan,” ungkap Gigih Guntoro, Senin (9/10/2017).

Dirinya menambahkan, kejahatan korupsi di PT Telkim telah menjadi pola yang terstruktur. Bagaimana pejabat dan oligarki politik kekuasaan membangun kerajaan bisnisnya di Telkom.

“Contohnya dalam skandal Korupsi Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan yang merugikan negara Rp.78 Milyar melibatkan Direktur EWS (Arief Yahya) bersama PT. Geosys Alexindo. Skandal ini akhirnya di take over oleh PT.  Pramindo Ikat Nusantara (anak perusahaan Telkom),” sambungnya.

Secara Yuridis, lanjut dia, ada penyelewengan pengelolaan keuangan dan jabatan yang dilakukan oleh Direktur EWS, namun kandas di depan hukum dan tercium bau tak sedap atas penerbitan SP3 dari Kejaksaan Agung.

“Dalam politik KKN, tidak ada makan siang gratis maka politik balas budi berlaku. Maka konsesi untuk menghentikan skandal ini adalah dengan melakukan suap ke oknum pejabat Kejaksaan Agung yang mencapai miliyaran rupiah dan promosi jabatan di lingkungan Telkom,” katanya.

Demikian pula yang terjadi pada Mark UP proyek IT di Pelindo II yang mencapai 105 milyar dari harga normal 26 Milyar. Direktur EWS Telkom melakukan KKN dengan menunjuk dan subkonkan proyek IT kepada PT. Sigma tanpa persetujuan dan sepengetahuan Dewan Direksi Telkom.

Memang tidak sulit, kata Gigih untuk membungkam mega skandal ini. “Dengan kekuatan politik yang dimiliki skandal ini juga berhenti ditengah jalan karena upaya sogokan uang dan jabatan kepada pemangku kebijakan,” kata Gigih.

Kemudian megas kandal lainnya adalah dugaan korupsi pada pengadaan Indonesia Digital Network (IDN) yang digagas Telkom dengan menyerap anggaran mencapai Rp.20 triliun dan diperkirakan mencapai Rp.70 triliun sampai tahun 2019.

“Proyek IDN, ini dipastikan akan mubazir alias tidak terpakai karena di saat Telkom melakukan proyek ini, anak perusahaannya Telkomsel juga melakukan proyek yang sama yakni migrasi 2G menjadi 3G dan 4G. Kenapa mubazir atau idle? Karena proyek IDN yang dilakukan telkom tersebut awalnya dimaksudkan untuk digunakan oleh Telkomsel yang memang berbasis nirkabel,” terangnya.

Jika Telkom dan Telkomsel mengerjakan satu proyek dengan kegunaan yang sama, sementara pengguna atau konsumen produk tersebut adalah Telkomsel, maka kata Gigih, kedua proyek tersebut IDN dan Migrasi 2G ke 4G telah terjadi duplikasi yang mengakibatkan pemborosan uang negara mencapai Rp. 20 triliun.

Menurut Gigih, tiga contoh di atas kian menguatkan dinasti politik KKN yang selama ini terbangun di Telkom. Dimana mereka melakukan berbagai manipulasi hukum demi mempertahankan kekuasaannya. Kata Gigih, dinasti Politik KKN sudah mengakar hingga ke anak perusahaan Telkom.

“Kita bisa bayangkan bagaimana BUMN telekomunikasi dikelola berdasarkan politik KKN yang didasarkan atas prinsip bagi-bagi kue kekuasaan, pasti tidak sehat dalam iklim pengelolaan corporasi yang bersih. Jika kekuasaan yang dibangun di atas pondasi KKN terus berlangsung maka akan mempercepat kehancuran Telkom itu sendiri,” tegasnya.

Pewarta/Editor: Romandhon

Exit mobile version