Oleh: Letnan Jenderal Tni (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin
The Art of War mengajarkan para pemimpin untuk selalu menghargai waktu, momentum dan timing. Sun Tzu berkata: “Waktu adalah segalanya”.
Kualitas keputusan itu seperti menukik tepat waktu dari seekor elang yang memungkinkannya untuk menyerang dan menghancurkan korbannya. Banyak orang membuat strategi dan keputusan bisnis yang bagus tetapi kemudian segalanya hancur karena salah timing pada saat mengeksekusinya. Kita perlu menahan dorongan nafsu dan perlu bersabar sejenak, menunggu waktu yang tepat untuk mengambil keuntungan dari sebuah momentum. Jadilah seperti elang kata, Sun Tzu. Kita sangat jarang mendapatkan kesempatan kedua untuk mengeksekusi keputusan secara efektif.
Kemajuan teknologi seringkali membuat kita merasa lebih hebat dibandingkan dengan nenek moyang kita yang lebih penyabar dan telaten. Padahal prinsip-prinsip pokok dari keberhasilan suatu strategi tidak berubah. Sudah saatnya kita tidak mengabaikan sejarah tetapi mempelajari pelajaran apa yang dapat kita petik dari masa lalu sehingga kita bisa memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sebaliknya, kami juga melihat ada beberapa tantangan yang harus dihadapi para pemimpin ketika kita ingin mengaplikasikan teori Sun Tzu.
Baca : Sun Tzu’s War Strategy: Perspektif Indonesia (Bagian 1)
Perlu integritas yang tinggi. Dibutuhkan seorang yang dapat dipercaya, satu kata dan satu perbuatan, memiliki kepemimpinan yang kuat dan mampu memberikan keteladanan. Teori Sun Tzu sangat dipengaruhi oleh sejarah peperangan di masa lalu yang sangat berwatak perang darat yang kolosal dan linier, sehingga pemimpin harus berada di barisan depan.
Para ahli strategi harus seorang yang visioner. Teori Sun Tzu mengedepankan strategi, bukan sekedar taktik, sehingga pencapaian sasaran tidak serta merta cepat dan dekat. Dalam mengaplikasikan langkah desepsi diperlukan kreatifitas dan kemampuan berimajinasi yang kuat.
Para ahli strategi harus profesional. Diperlukan ketekunan dan keahlian di bidang yang digeluti. Semakin sering seorang strategis berhadapan dengan masalah yang memerlukan solusi strategis, maka ia semakin matang. Profesionalitas ini diperlukan ketika ia harus tegar memformulasikan strategi yang apabila dilaksanakan akan bertentangan dengan nilai moral dan etik yang dianutnya. Teori perang Sun Tzu yang menekankan pentingnya desepsi sangat menuntut profesionalitas pelaksana strateginya.
The Art of War yang juga menekankan pentingnya beraliansi/ koalisi barangkali tidak dapat sejalan dengan polugri bebas aktif yang dianut Indonesia. Bagi Indonesia pentingnya beraliansi diintepretasikan dalam wujud kerja sama pertahanan tanpa suatu pemusatan pakta militer. Prinsip penghormatan terhadap independensi itu penting, tetapi harus dilandasi dengan sikap “Mutual benefit and Mutual respect for each other’s teritorial integrity and sovereignty.” Indonesia cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan.
Baca : Sun Tzu’s War Strategy: Perspektif Indonesia (Bagian 2)
Saya ingin menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
Dari persepsi Indonesia, teori Sun Tzu telah diimplementasikan dalam dunia militer dan bisnis semenjak berdirinya Republik Indonesia. Teori Sun berkembang pesat pada penghujung tahun 1990-an seiring dengan terbukanya akses informasi melalui internet. Kini teori Sun Tzu telah menjadi referensi teori strategi di dunia pendidikan militer dan sipil.
Dari persepsi Indonesia, teori Sun Tzu memberikan implikasi positif yang besar terhadap aspek politik, ekonomi dan pertahanan, namun di sini saya hanya memberikan beberapa contoh aplikasi.
Sun Tzu’s War Strategy: Perspektif Indonesia (Bagian 3)
Dari persepsi kultural, teori Sun Tzu sangat aplikatif di Indonesia mengingat adanya kesamaan dan korelasi budaya yang sangat kuat di antara kedua bangsa Indonesia dan bangsa Tiongkok.
Dengan semangat filosofi Art of War dari Sun Tzu, Indonesia menggugah semua bangsa untuk bekerja sama dengan suasana akrab membangun dunia yang damai dan stabil.