Sumpah Pemuda dan Kaum Muda Pajak – Opini Yustinus Prastowo

Sumpah Pemuda/Ilustrasi: mojok.co

Pemuda/Ilustrasi: mojok

NUSANTARANEWS.CO – Hari ini, 88 tahun silam, para pemuda bernyali baja dan bertekad kuat memekikkan ikrar persatuan, sebagai benih kesadaran nasionalisme dan menjadi rintisan bagi lahirnya bangsa Indonesia. Bangsa – yang menurut Ben Anderson – hasil rekabayang kolektif sebagai satu komunitas yang disatukan oleh pengalaman sejarah yang sama. Komunitas yang secara sadar merumuskan visi menjadi negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Visi luhur yang hendak diwujudkan melalui pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Para pendiri bangsa sadar sepenuhnya, guna mewujudkan bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur perlu disangga dengan ketersediaan dana bagi pembangunan dan pemerintahan. Dan para pendiri bangsa sadar bahwa pajak merupakan pilihan paling mungkin karena karakteristik gotong-royong, berdasarkan prinsip kemampuan membayar, dan tumbuh seiring dengan pertumbuhan perekonomian negara. Pajak – berbeda dengan ekstraksi sumber daya alam – lestari, sinambung, dan membesar seiring kemajuan ekonomi negara dan kesadaran warganegara. Maka hal ini perlu diatur di konstitusi, bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang. Hanya ada dua kewajiban konstitusional bagi warganegara yang diatur, yakni membayar pajak dan bela negara.

Pajak dan sifat memaksa sudah bergandengan sejak pajak pertama kali ada, di masa Raja Urukagina di Babilonia atau Ephiphanes di Mesir. Sejak peradaban manusia purba, sebagian besar telah bersepakat bahwa kontrak sosial akan kekal jika ditopang sumber dana yang cukup – entah disebut pajak, upeti, zakat, dan sebagainya. Pokok persoalan terletak pada, bagaimana sifat memaksa itu tidak menjadi sewenang-wenang, tidak adil, dan memberatkan? Maka konstitusi mengatur, pajak harus berdasarkan Undang-undang.

Kesadaran memberi landasan konstitusional supaya pajak tidak semena-mena dimulai para pemikir Yunani Kunio, khususnya Aristides, lalu menjadi formal pada Magna Charta (1215) di Inggris, teoretikus kontrak sosial seperti Thomas Hobbes dan John Locke, dan memuncak di era Revolusi Prancis dan Amerika. Adalah James Otis yang pertama kali memekikkan “taxation without representation is robbery”, dan kemudian menjadi kutipan masyur.

Pajak kini berkawan erat dengan demokrasi, bahkan saling mengandaikan. Apa yang wajib dan dapat dipaksakan itu hanya akan efektif dan berdaya lanjut jika didukung kesadaran dan partisipasi warga. Pajak yang dulunya top down kini menjadi bottom up. Ada ruang tawar-menawar yang berciri dialektis perihal hak dan kewajiban: saya hanya akan membayar jika mendapat sesuatu yang bermanfaat, termasuk perlindungan hak sipil dan politik. Deborah Brautigam menyebutnya quasi-voluntary: patuh sejauh saya mendapat manfaat.

Kembali ke Sumpah Pemuda. Rintisan kesadaran berbangsa dan bernegara yang otentik dan visioner lahir dari permenungan dan aksi kaum muda. Kaum yang seyogianya tak perlu disekat dengan batasan usia, tapi lebih kepada jiwa dan karakter. Kaum yang selalu haus akan kebaruan, tak lekas puas dengan kemapanan, tak cukup disangga atribut dan jabatan, yang suka berpetualang mencari tantangan. Dan di atas segalanya, visi kaum muda adalah integritas, karena motif perjuangannya bukan berpusat pada dirinya, melainkan pada cita-cita luhur yang diukir Ibu Pertiwi di sanubarinya. Lugasnya, perjuangan kaum muda adalah sekaligus mematri ego, mengusung bara revolusi, dan menggapai cita-cita dengan jerih payah bersama.

Kini Indonesia memasuki era digital yang sama sekali baru. Para tetua gagap, sebagian bisa menyesuaikan diri, namun pemilik masa kini dan mendatang adalah kaum muda. Kaum yang tak lekas puas dan sigap membaca angin perubahan. Pajak telah disadari menjadi bagian penting sejarah dan masa depan Indonesia. Wirausahawan muda bermunculan, lengkap dengan aneka terobosan dan kreasi.

Cara berbisnis pun berubah, semua serba mudah, cepat, murah, nirbatas – dunia semakin datar – kata Thomas Friedman. Adagium kuno bahwa kuasa itu pejal dan bisa terus digenggam telah sirna. Kini kuasa mengalir dalam kapiler-kapiler relasi dan jejaring. Benar bahwa pengetahuan adalah kuasa dan dalam tiap kuasa bersemayam kepentingan. Letak perkaranya ada pada, apakah kita menyadari dunia yang berubah ini?

Maka tanpa berpanjang lebar, masa depan pajak yang merupakan masa depan bangsa, ada pada genggaman kaum mudanya. Para pegawai pajak generasi nocengers yang punya cara mengada, berekspresi, berinteraksi, dan berkreasi yang sama sekali berbeda. Agaknya jika hari-hari ini kita lebih banyak percaya sabda itu efektif dan mantra itu mujarab, kita adalah kaum tua yang usang.

Memeringati 88 Tahun Sumpah Pemuda, barangkali perlu memikirkan estafet diskursus pajak dengan segala dinamikanya pada kaum muda, generasi nocengers, penggenggam masa depan Indonesia. Jadi isu utamanya bukan apakah menjadi badan atau tidak, melainkan apakah saya tergolong kaum muda yang memiliki spirit kebaruan, daya juang militan, berintegritas tinggi, terpercaya. Sebab tertulis: Carilah dan temukan spirit yang hilang itu, maka semuanya akan ditambahkan kepadamu! Menjadi badan itu hanya urusan waktu. Mari, Generasi nocengers pajak, saya di belakang Anda, menjadi sahabat seiring menggengam obor amanat rakyat ini! (Yustinus Prastowo, Pengamat Perpajakan)

Exit mobile version