Soal PTKP, Said Iqbal: Pemerintah Ini Mirip VOC, Menarik Upeti dari Rakyat

Cultuurstelsel, Sistem Belanda yang Membelenggu Pribumi Indonesia (Ilustrasi; Kerja Rodi). Foto: Otonomi.co.id

Cultuurstelsel, Sistem Belanda yang Membelenggu Pribumi Indonesia (Ilustrasi; Kerja Rodi). Foto: Otonomi.co.id

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan bahwa KSPI menolah penurunan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak atau PTKP. Pasalnya, selama ini PTKP yang berlaku adalah 4,5 juta per bulan. Dengan kata lain, kata dia, pekerja yang upahnya di bawah 4,5 juta tidak terkena pajak.

“Jika Menteri Keuangan menurunkan PTKP menjadi sesuai dengan Upah Minimum Provinsi, maka pekerja yang upahnya di bawah 4.5 juta akan terkena pajak. Kebijakan ini lebih parah dari sebelumnya. Sebab sebelum naik menjadi 4.5 juta, nilai PTKP adalah 3 juta,” terang Iqbal saat dihubungi Nusantaranews.co, Salasa (8/8/2017) malam.

Sebagai contoh, imbuhnya, UMP Jawa Tengah tahun 2017 ini sebesar 1.3 juta. Dengan demikian, pekerja yang upahnya sebesar 1.35 juta sudah terkena pajak. “Kebijakan ini seperti rentenir. Dimana pemerintah memajaki dan memalaki rakyat kecil. Oleh karena itu, KSPI tegas menolak kebijakan ini,” ungkapnya.

Simak: Soal Upah Padat Karya, KSPI: Keberpihakan Pemerintah Sungguh Berat ke Pengusaha

Adapun alasan penolakannya, tutur Iqbal, diantaranya adalah, pertama daya beli buruh masih rendah. “Jika PTKP diturunkan, maka daya beli akan semakin memburuk. Upah buruh yang masih rendah itu akan diperparah dengan akan adanya pengeluaran yang harus dibayar, yaitu pajak. Hal itu akan membebani buruh,” kata dia.

Menurut Iqbal, yang menjadi indikator menurunnya daya beli, salah satunya adalah penjualan motor turun 7 persen, dan penjualan mobil turun 5.7 persen. Rumah murah yang targetnya 1 juta rumah tidak tercapai. Ibu rumah tangga paling merasakan dampaknya, ketika hampir semua kebutuhan naik. “Apa yang dilakukan pemerintah ini mirip dengan VOC, yang menarik upeti dari rakyat,” cetusnya.

Alasan yang kedua, lanjut Iqbal,  kebijakan ini terkesan akal-akalan. Dulu ketika membuat kebijakan UU Tax Amnesty, dalihnya adalah untuk menarik repatriasi dan deklarasi. Setelah tahun pertama dibebaskan, mustinya tahun kedua mereka sudah harus membayar pajaknya.

“Kemana pajak hasil deklarasi dan repatriasi yang katanya 4000 T lebih itu? Ini yang kita tidak setuju. Rasa ketidakadilan kita tercederai. Ini orang kaya diampuni, orang miskin dikejar-kejar pajaknya,” katanya.

Ketiga, tambahnya, ketika KSPI mengajukan judicial review terhadap UU Tax Amnesty, salah satu argumentasi pemerintah adalah buruh tidak bayar pajak. Argumentasi pemerintah tersebut didahului dengan menaikkan PTKP dari 3 juta menjadi 4.5 juta.

“Keempat, kita tidak bisa membandingkan antar negara tanpa melihat faktor-faktor ekonomi yang lain. Perbandingan negara apple to apple. Malaysia dan Thailand itu pendapatan perkapitanya sudah bagus. Sementara Indonesia daya belinya rendah,” sambung dia.

Iqbal mengungkapkan bahwa data ILO menunjukkan upah rata-rata Indonesia masih rendah. Upah rata-rata Thailand adalah 357 dollar, Malaysia 506 dollat, Filipina 206 dollar, dan Indonesia hanya 174 dollar.

Baca: KSPI Sebut Rakyat Indonesia tak Ikut Menikmati Pembangunan Infrastruktur

“Upahnya paling rendah di negara ASEAN, tetapi PTKP nya mau diturunkan sehingga buruh yang upahnya sudah rendah harus dipajaki pula. Cara berfikir seperti inilah yang akan kita lawan. Jokowi harusnya mencabut PP 78/2015 dan juga menurunkan harga  Tarif  Dasar Listril ( TDL) agar daya beli buruh dan masyarakat kembali naik,” cetus Iqbal tegas.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version