Skuel Sistem Perekonomian Nasional 1997 – Opini Letnan Jenderal TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin

Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin/Foto: Dok. Detikcom

Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin/Foto: Dok. Detik

NUSANTARANEWS.CO – Sebagai bagian dari upaya mengejar pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah berupaya secepat-cepatnya mengalirkan dana ke masyarakat. Budaya “hutang” yang didukung oleh berbagai pernyataan para pemimpin bahwa meminjam uang adalah hal yang biasa dan wajar, telah membuat ratusan bank beserta ribuan cabang di seluruh Indonesia berlomba mencari nasabah.

Kemudahan memperoleh Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) telah mengakselerasi proses ini. Di satu sisi, aliran dana dari perbankan segera menggerakkan roda perekonomian di seluruh tanah air. Namun di sisi lain, kecepatan pembentukan sumber daya manusia di bank sentral guna melakukan pengawasan, serta bank pelaksana guna mengoperasikan bank secara profesional, sama sekali tidak berimbang dengan kecepatan pertambahan jumlah bank yang memperoleh izin beroperasi.

Lemahnya sistem pengawasan perbankan yang tidak didukung oleh infrastruktur hukum serta proses penegakan hukum (law enforcement) yang memadai, telah membuat praktek mark up. Yakni meminjam dana melebihi kapasitas kegiatan usaha untuk mampu mengembalikan pinjaman.

Tak hanya itu, pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) bagi suatu kegiatan usaha dan berbagai upaya manipulasi lain terjadi. Situasi ini menjadi kegiatan yang mudah ditemui, terutama di bank swasta maupun pemerintah yang dikuasai oleh kelompok bisnis raksasa.

Dengan situasi seperti tersebut, maka gambaran pertumbuhan perekonomian Indonesia tidak berbanding lurus dengan kuatnya fundamental ketahanan perekonomian. Situasi kemajuan yang tampak nyata, semakin didukung oleh kemudahan memperoleh dana di pasar modal.

Dengan tidak didukung oleh infrastruktur peraturan pasar modal serta hukum yang memadai, di awal pertumbuhannya, proses menjual saham perusahaan telah memicu masuknya investor asing dengan dana murah dan relatif berjangka pendek untuk berspekulasi.

Dengan semakin didukung oleh para birokrat, pengusaha semakin memiliki keberanian meminjam dari pasar modal. Di satu sisi, memberikan efek positif bagi tercapainya trilogi pembangunan saat itu. Namun di sisi lain menambah beban hutang Indonesia, yang ironisnya adalah bahwa pemerintah saat itu tidak melakukan pencatatan hutang luar negeri swasta Indonesia.

Baca: Tabir Krisis Ekonomi di Indonesia []

Exit mobile version