Akibat Amandemen, Sistem Ketatanegaraan Kita Saat Ini Sudah Melenceng

Ilustrasi Reformasi

Ilustrasi Reformasi

NUSANTARANEWS.CO – “…..UUD 1945 yang dituduh oleh berbagai pihak sebagai penyebab terjadinya pemerintahan yang otoriter, telah diamandemen sebanyak empat kali, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan roh dan semangat Pembukaan UUD 1945, sebagai akibat peraturan perundang-undangan yang tidak konkordan lagi dengan dasar negaranya….”           

Pegiat Akademia Pancasila, Sardjono Sigit dalam papernya mengungkapkan pendapat dan tulisan para pakar ketatanegaraan dan pakar ilmu politik tentang akibat amandemen UUD 1945 yang “salah jalan” karena menyimpang dari roh dan semangat Pembukaan UUD-nya. Amandemen inilah, yang kemudian mengakibatkan bergesernya nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi kearah individualisme, liberalism dan kapitalisme, yang sama sekali bukan menjadi jiwa dan semangat kebangsaan seperti yang dikehendaki oleh para founding parents bangsa ketika menggagas berdirinya Negara Indonesia.

Oleh karena itu, menurut Sigit, demi keutuhan dan kelestarian NKRI, Akademia Pancasila telah mencantumkannya sebagai salah satu dari 13 fenomena politik penyebab kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus diperbaiki dari suatu entitas sosial-politik Bangsa dan Negara. Di mana amandemen sebanyak 4 kali telah menjadi “tantangan” Akademia Pancasila untuk diluruskan kembali, sesuai dengan roh, semangat dan nilai-nilai Pancasila seperti semula.

“Bahwa amandemen UUD 1945 yang keliwatan (over excessive) akan dapat menghilangkan staats fundamentalnorm (norma dasar kenegaraan) seperti yang ditentukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada saat mereka bersidang untuk mempersiapkan pembentukan Negara tahun 1945 dahulu. Kalaupun dengan perkembangan zaman, ada tuntutan untuk menyempurnakannya, harus dijaga agar nilai-nilai dasar yang objektif, positif, intrinsik dan transeden itu tetap dipertahankan secara konsisten, tanpa mengurangi aktualitas dan kontekstualitasnya.”

Namun sayangnya batang tubuh UUD yang tercantum dalam pasal-pasal hasil amandemen tersebut ternyata sudah sangat jauh menyimpang dari norma dasar kenegaraan (staats fundamentalnorm) seperti yang dimaksudkan oleh Pembukaan UUD-nya. Karena itu, banyak pakar ketatanegaraan dan politik yang mengatakan bahwa UUD 1945 sudah DIGANTI dengan UUD 2002.

Perubahan semangat UUD 45 itu konon di ”arahkan” oleh campur tangan asing dengan adanya peranan pihak tertentu sehingga menjadi UUD 2002 dan sudah sangat jelas tidak mengikuti roh dari nilai-nilai Pancasila, antara lain sila keempat, bahwa “kedaulatan ditangan rakyat rakyat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”.

Jadi demokrasi kita telah berubah menjadi demokrasi kwantitatif, siapa yang mendapat suara terbanyak itulah yang menang, seperti model demokrasi liberal ala Barat.

Kecuali sistem politik yang jauh melenceng dari staatsfundamental-norm yang dibuat oleh para pendiri bangsa, sistem politik dan ketatanegaraan kita saat ini sudah benar-benar masuk dalam arena free fight liberalism, yang tidak mengandung nilai Pancasila sama sekali. Bangsa ini bahkan telah mengubur Pancasila di pekarangannya sendiri, serta merusak moral conformity dari para founding parents dengan jalan liberalisasi ideologi Negara Pancasila Pertanyaannya sekarang, sampai kapan hal ini akan terus kita pertahankan ?

60 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1957, Bung Karno sebagai penggali Pancasila dan peletak norma dasar ketatanegaraan, staatsfundamentalnorm, sebelum menyatakan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 pada tahun 1959, telah menyatakan tekadnya untuk mengembalikan sistem pemerintahan pada UUD 1945. Saat itu kita menunggu Konstituante untuk membuat UUD baru, yang tidak berhasil, dan hanya membawa kekacauan sistem pemerintahan yang sama sekali tidak stabil.

Dikatakannya “….Maka akhirnya saya sampai kepada keyakinan bahwa kita telah memakai satu sistem yang salah, satu stijl pemerintahan yang salah, yaitu stijl yang kita namakan demokrasi Barat.Dan oleh karena demokrasi itu adalah demokrasi impor, bukan demokrasi Indonesia, bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa kita sendiri, maka kita mengalami segenap ekses-ekses dari sekedar memakai barang impor. Makadari itu: Mari kita kembali pada jiwa kita sendiri.“

Dua tahun kemudian, pada 5 Juli 1959, Bung Karno akhirnya menyatakan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945.

Akhirnya kita akan bertanya, sampai kapan “kesalahan sejarah” sebagai akibat reformasi tahun 1989 ini akan diluruskan, karena kita sudah menyimpang dari cita-cita kemerdekaan, ketika pendiri Negara dulu membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia Apakah para “reformis ”ini tidak berkhianat pada mereka ??

Menutup tulisannya, Sigit menyatakan bahwa dengan terbentuknya Akademia Pancasila beberapa waktu yang lalu, akan berusaha membawa perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan sosial-budaya-mentalitas-politik-ekonomi-kesejahteraan-ketatanegaraan yang selama ini melanda kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kita akan berhasil kalau semua pihak memang serius untuk bertekad dan berbuat sesuatu kearah Indonesia yang lebih baik dan berjatidiri di hari depan. (AS)

 

Exit mobile version