Rizal Ramli Di Antara Kisah
Pendekar Hukum Dan Hakim Lurus
Oleh: Arief Gunawan, Penulis Wartawan Senior.
Di tahun 80-an ada Hakim Agung yang mengurus sendiri biaya pemakaman dirinya ke kantor yayasan pemakaman, dan berwasiat supaya keluarga yang ditinggalkan kelak tidak sepeser pun memakai duit negara untuk urusan kematiannya.
Ini dilakukan karena sang Hakim Agung selalu ingat sumpah jabatannya sewaktu dilantik, di bawah Al Qur’an, yang ayat-ayatnya tidak boleh dipermainkan atau diselewengkan untuk kepura-puraan, untuk menutupi nafsu terhadap jabatan dan harta kekayaan.
Ia tidak ingin anak-istri dan cucu-cucunya makan makanan haram akibat penghasilan yang didapat dari berbohong, dari bersikap munafik, dari uang batil hasil sogokan, memeras, memanipulasi, dari perkara-perkara yang ditanganinya.
Makanan akan menjadi haram apabila dibeli dengan uang haram.
Makanan haram akan mengalir menjadi darah di dalam tubuh.
Dia tidak ingin darah haram menjadi racun bagi akhlak dan keimanan keluarganya terhadap Tuhan.
Dia sangat percaya seorang hakim yang tidak adil, zalim, dan korup akan mendapat hukuman secara langsung dan tidak langsung, disadari atau tidak:
Di Alam Nyata hakim yang tidak adil dan mengikuti kecurangan akan lebih dulu dilaknat oleh sumpah serapah masyarakat, sedang di Alam Barzah dilaknat oleh azab-siksa kubur yang sangat pedih…
Beruntung, sebagai wartawan, saya pernah bersinggungan dengan pendekar-pendekar hukum terpandang yang memiliki integritas dan kadar ketakwaan yang baik, seperti Baharudin Lopa tatkala beliau menjabat sebagai anggota Komnas HAM dan kemudian Jaksa Agung serta Menteri Kehakiman dan HAM di era Presiden Gus Dur.
Lopa adalah salah satu narasumber kami para wartawan Polhukam ketika itu, terutama waktu pertama kali Komnas HAM didirikan sekitar tahun 1993, dengan kantornya yang masih menumpang di sebuah gedung milik Departemen Kehakiman di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, beberapa meter di sebelah Bina Graha.
Waktu Presiden Gus Dur mencari nama yang tepat untuk posisi Jaksa Agung di kabinet yang dipimpinnya, cucu pendiri Nahdatul Ulama (NU) itu bertanya kepada Dr Rizal Ramli, Menko Perekonomian saat itu, yang memang dikenal sangat dekat dengan Gus Dur.
Ketika Rizal menyebut nama Baharudin Lopa untuk posisi dimaksud, Gus Dur spontan langsung setuju.
Lopa seperti diketahui sangat iconic, dikenal lurus dan berani, termasuk dalam membasmi korupsi.
Bismar Siregar Hakim Agung yang suka memberi nasihat dengan tutur yang lembut. Setiap ada kesempatan untuk shalat berjamaah selalu jadi imam dengan suaranya yang sejuk tatkala membacakan ayat-ayat suci.
Sedang Bang Buyung sudah lama saya kenal dan memang dekat dengan wartawan, ayahnya, Rachmat Nasution, salah satu pendiri Antara.
Saya suka menyimak Bang Buyung kalau sedang mengobrol dengan Bang Ali (Ali Sadikin), baik di LBH, di Jalan Borobudur (rumah Bang Ali), atau di Jalan Theresia, Menteng, ketika mereka nonton pertunjukan seni.
Banyak kenangan yang terekam di layar ingatan mengenai ketiga tokoh pendekar hukum ini.
Terakhir saya menemui Bang Buyung, pada Senin malam 21 September 2015, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Bang Buyung sudah dalam keadaan sakit parah dan terbaring di ruang ICU dengan banyak selang infus di tubuh serta dibantu peralatan medis.
Saya datang bersama tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang waktu itu menjabat Menko Maritim dan Sumber Daya.
Di tengah kesibukan dan jadwal yang padat Rizal Ramli mengkhususkan diri membezuk Bang Buyung, sahabatnya sesama penegak demokrasi, seniornya karena hubungan Rizal & Buyung bagaikan kakak dan adik, serta pengacara pro bono yang pernah membela Rizal dan teman-temannya di ITB, di Pengadilan Negeri Bandung, akibat Rizal dan kawan-kawan melakukan aksi menentang otoritarianisme Orde Baru, 1978.
Waktu kami tiba di rumah sakit Bang Buyung dalam keadaan tertidur di ruangan ICU yang dibatasi kaca.
Rizal Ramli berdiri mendoakan secara khusuk sahabat yang sangat dihormati dan yang tidak akan pernah terlupakan kebaikannya itu.
Beberapa hari kemudian, Rabu, 23 September 2015, Bang Buyung, salah satu pendekar hukum yang pernah dimiliki negeri ini, meninggalkan dunia yang fana dengan tenang.