Reformasi Mengalami Penyimpangan Dari Tujuan Sebenarnya (Bagian II)

M. Soeprapto (Foto Dok. Nusantaranews)

M. Soeprapto (Foto Dok. Nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pasca reformasi, Indonesia sebagai bangsa justru terbelenggu oleh penjajahan modern yang dikenal dengan istilah neo-imperialisme dan neo-kapitalisme melalui pola pikir, pola sikap dan pola tingkah laku dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan keamanan. Akibatnya menurut Ketua LPPKB Soeprapto berbagai peraturan perundang-undangan telah diwarnai oleh kepentingan kelompok tertentu; perekonomian kita dilindas oleh pasar bebas; pola pikir, sikap dan perilaku kita dimasuki nilai-nilai budaya luar yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Untuk menggali lebih jauh, berikut petikan dialog singkat Nusantaranews.co dengan Ketua LPPKB Soeprapto yang juga mantan Kepala BP7 pada 31 Januari 2018.

Setelah reformasi kebebasan Pers begitu luar biasa. Bagaimana menurut Bapak?

Hari ini tampaknya kebebasan pers dan kebebasan memperoleh informasi tidak diimbangi dengan tanggung jawab, karena pers semata-mata dijadikan ajang komersial dan kepentingan golongan tertentu. Hal ini mendorong terbentuknya opini publik dan perilaku yang menyimpang dari budaya bangsa. Situasi semacam ini dapat dikategorikan sebagai tindakan pembodohan dan perusakan moralitas masyarakat dan bangsa. Dewasa ini dengan kemajuan teknologi komunikasi berkembang hoaks atau berita bohong untuk mempengaruhi dan menyesatkan opini masyarakat.

Dengan kata lain telah mengakibatkan terjadinya dekadensi moral?

Ya, masalah dekadensi moral dan akhlak semakin berkembang di kalangan elit nasional, terutama elit politik. Mereka sudah tidak mampu membedakan hal ihwal yang baik dan perkara yang buruk, yang benar dari yang salah, yang penting adalah tercapainya kepentingan pribadi dan atau golongan.

Dekadensi moral tersebut menimbulkan sikap masa bodoh dan kurangnya peduli dan komitmen dari sebagian kalangan elite nasional dalam mengupayakan reformasi secara tepat dan benar.

Misalnya dalam hal penyelenggarakan pembaharuan sistem pendidikan nasional yang bernuansa sangat liberalistik. Periksa bagaimana implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan, yang biasa disebut KTSP, benar-benar bermuatan liberalistik murni. Bila hal ini berkepanjangan, tidak dibenahi, maka generasi di masa yang akan datang akan menjadi sangat rapuh dalam membentuk jatidirinya.

Terakhir, bagaimana menurut Bapak terkait pengaruh globalisasi terhadap kehidupan barbangsa dan bernegara kita hari ini sebagai bangsa?

Globalisasi telah menimbulkan tantangan baru yang harus diantisipasi oleh masyarakat, negara dan bangsa. Dengan berakhirnya perang dingin maka permasalahan yang timbul bukan masalah pertentangan antara blok barat dan blok timur, tetapi masuknya berbagai ideologi transnasional, dan mendesaknya ekonomi pasar bebas terhadap ekonomi kerakyatan.

Di satu sisi negara-bangsa menghadapi gerakan globalisasi, di sisi lain negara-bangsa menghadapi situasi, yang kalau boleh meminjam istilah dari Huntington, kita sedang menghadapi clash of civilization between sub-cultures. Bila hal ini tidak dapat diselesaikan dengan seksama, dapat saja terjadi perpecahan negara-bangsa.

Mengakhiri perbincangan, inspirator Akademia Pancasila ini mengungkapkan bahwa krisis ekonomi belum usai dan masih terjadi proses pemiskinan dalam masyarakat. Diperkirakan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan masih besar yang menimbulkan disparitas pendapatan yang demikian besar, sehingga “demokrasi ekonomi” belum dapat terwujud. (red)

Pewarta: Aya
Editor: Romandhon

Exit mobile version