Gorden
Garis gorden masih lurus terurai
Angin sinergi menyapanya melambai
Apalah daya yang tak kuasa
Dirayu hanya merana
Sekali lagi, tak punya kuasa
Kaki-kaki kuat dipasung
Masih tergantung
Menanti simpul-simpul mati melepaskan diri
Pergi!
Sekali lagi, tak punya energi
Malam berganti pagi
Kesetiaan bayu tak dapat diragukan lagi
Ia tetap menemani
Meski ia mengerti tak berarti
Yang ia pahami,
Bagaimana caranya berlaku lagi
Ia yang dapat pergi tak tentu bisa kembali
Sokaraja, 8 Oktober 2019
Arti
#1
Diam
Aku memang benci kebungkaman
Tentang arti diam itu emas
Aku semakin cemas
Udara yang kuhirup memanas
Aku sadar logika emas
Dimasak matang-matang
Dikemas hingga merias paras
Aku kalah
Kamu selalu mengalah
Mengakui menang pun tak pernah
Kamu wajar untuk marah
Untuk kataku yang serapah
Kumohon maaf
Untuk janji yang diingkari
Dan kepercayaan yang dikhianati
Selebihnya jangan sampai kau tersakiti
Kau sungguh berarti
Aku yang tak pernah mengerti
Beri aku kesempatan memperbaiki
Sekali lagi
Takku ulangi yang membuatmu pergi
Aku ingin menjaga silahturahmi
Aku akan lebih memahami
Belajar atas makna dan arti
Sokaraja, 9 Oktober 2019
Arti
#2
Aku berkaca di depan cermin matamu
Sukmaku kehilangan raga
Kasap mata
Itulah aku
Dalam cermin matamu
Aku lari kesana-kemari
Melewatimu yang sedang berdiri
Sangat tinggi
Terus kukelilingi
Tapi kau tetap tak mengerti
Ada aku di sini
Di samping kakimu yang berdiri
Mataku bersaksi
Sungguh bodoh cobalah sadar diri
Kamu tak memiliki
Arti
Banyumas, 10 Oktober 2019
Arti
#3
Tutuplah matamu
Buka telingamu
Apa bisikan ini terlalu lirih
Seperti celoteh angin yang berlalu
Tetap saja kau tak mengerti
Sekarang tutup matamu
Tutup telingamu
Dengarkan suara hatimu
Kosong
Diam
Tak peduli
Tak berarti
Baiklah sekarang aku mengerti
Aku tak memiliki arti.
Aku sudah sadar diri
Banyumas, 10 Oktober 2019
Lalu dan Babibu
Arti #4
Beberapa detik lalu
Melintas sekejab membawa pilu
Hatiku lara menggerutu
Terima kasih untuk ratusan hari yang telah berlalu
Dan bonusnya ratusan detik lalu
Kamu sungguh terlalu
Sekejab menyiram warnaku dengan kelabu
Kini hanya hitam yang kunikmati
Dan sari pati pahit yang kau beri
Sungguh kuterima atas kasih yang kumiliki
Selama aku tak memiliki arti
Segalanya yang telah dirancang dan dinanti
Ternyata hanya babibu hahihu tanpa arti
Banyumas, 10 Oktober 2019
Lumrah
Arti #5
Mungkin ini yang Tuhan kehendaki
Aku harus tau soal ini
Tentang inti yang kucari
Rotasi yang telah kulalui
Revolusi menumbuhkan mimpi
Sirna seperti angin pergi
Tak berbekas; mengusik kembali
Semoga dapat mengikhlaskan diri
Yang pergi itu tak memiliki arti
Sepertimu yang tak pernah diberi arti
Semoga akan terganti
Dan dapat mengidupimu lagi
Tetaplah bermimpi payah jangan berhenti berlari
Kamu mandiri
Kamu bisa meraih mimpi
Bukan hanya sekedar imajinasi
Meski berjuang seorang diri
Buktikanlah
Tak akan menyerah
Meski segalanya telah berubah
Ini siklus yang lumprah
Tetaplah melangkah
Meski sayap sudah patah
Tangan harus dipapah
Kau harus berkiprah
Mencipta sejarah
Banyumas, 10 Oktober 2019
Wujud Emosi
Arti #6
ini adalah wujud emosi
Dalam bentuk puisi
Apabila ilusi memainkan diksi
Naluri hati lebih menginfeksi
Darah-darah naik teraliri
Kesaktiannya menuntun jemari
Mengetikan sebuah arti
Maknai yang abadi
Penghargaan pada diri
yang tak berarti
Banyumas, 10 Oktober 2019
Penulis: Intan Hafidah Nur Hansah, nama pena Tinta Biru, mahasiswi semester 5, Fakultas Biologi, Prodi D3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Universiatas Jenderal Soedirman Purwokerto. Tinggal di Sokaraja, Banyumas. Puisi-puisinya dimuat oleh media Majalah simalaba.net, penulis 27 buku antologi puisi yang diterbitkan oleh berbagai penerbit Nusantara, buku solonya Novel Hakikat Hati dan Puisi Jejak Jarak. Akun yang dapat dihubungi yaitu IG: intanhafidah456/ tintabiru456, FB: Tinta Biru, Gmail: intanhafidah456@gmail.com. Menulis sampai PRANCIS merupakan misi pena Tinta Biru. Founder Komunitas Sahabat Pena dan penerbitan Kosana Publisher.