NUSANTARANEWS.CO, Paris – Perubahan iklim adalah tantangan global. Narasi ini sudah disepakati hampir 200 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hal itu tertuang dalam Kesepakatan Iklim Paris 2015 (Paris Agreement). Isi kesepakatan ini adalah komitmen bersama negara-negara di dunia mengurangi emisi gas rumah kaca yang diberlakukan pasca 2020. Negara-negara dunia berkomitmen menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius dan menekannya hingga 1,5 derajat celcius.
Ke depan, perubahan iklim dan energi bersih akan menjadi pilar utama hubungan bilateral sekitar 200 negara di dunia. Kendati sikap proteksionisme Presiden Donald Trump sedikit menganggu agenda global ini, yang jelas dunia kini membutuhkan sebuah tatanan internasional baru yang lebih baik. Sebuah modifikasi tatanan dunia baru dengan seperangkat aktor guna mengatur agenda global dan mengorganisir kerjasama multilateral yang lebih adil.
BACA: Mencermati Runtuhnya Pax Americana
Dunia tak melulu harus bertumpu pada sikap proteksionime Presiden Trump, terutama Uni Eropa. Kanselir Jerman Angela Merkel telah mengingatkan, Uni Eropa dan pemimpin G-7 sudah waktunya untuk melakukan reformasi dan berdiri di atas kaki sendiri dan memperjuangkan masa depannya sendiri.
Sejumlah negara-negara Uni Eropa diketahui sudah mulai bergerak mengurangi emisi karbo dioksidanya. Paling terdepan adalah Jerman. Inggris sementara itu sangat gencar. Dan terbaru, parlemen Prancis telah menyetujui UU yang melarang semua eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi pada tahun 2040 mendatang, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berdasarkan UU baru tersebut, semua izin pengeboran yang telah beroperasi sekian puluh tahun tidak akan diperbaharui dan tidak ada izin eksplorasi baru.
- Pada 2040, Paris Sterilkan Kendaraan Berbahan Bakar Bensin dan Diesel
- 7 Kunci Perjanjian Iklim Paris
Seperti diwartakan, langkah Prancis ini sebetulnya sebagian besar bersifat simbolik. Sebab, sebagian besar minyak dan gas Prancis adalah impor. Negara ini juga tercatat hanya mengekspor sekitar 815.000 ton minyak per tahun, jumlah yang hanya diproduksi beberapa jam saja oleh Arab Saudi. Namun begitu, Presiden Prancis Emmanuel Macron berambisi negaranya menjadi pemimpin utama ekonomi dunia yang beralih dari bahan bakar fosil dan industri nuklir ke sumber energi terbarukan yang lebih bersih, ramah lingkungan dan efisien.
“Saya sangat bangga bahwa Prancis sudah menjadi negara pertama di dunia saat ini yang melarang izin atau lisensi eksplorasi minyak dan semua ekstraksi minyak pada tahun 2040 mendatang,” kata Macron seperti dikutip Daily Mail, Kamis (21/12/2017).
Bagi Prancis, UU tersebut adalah sebuah upaya untuk memberikan kesadaran kepada generasi sekarang tentang bagaimana menghadapi masa depan yang lebih efisien. Selain itu, Prancis juga berharap UU tersebut akan menginspirasi produsen-produsen besar dari minyak dan gas untuk melakukan hal serupa.
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews