Pilpres 2019 Tidak Ada Gunanya (1)

prabowo subianto, joko widodo, tarung ulang, tahun politik, sandi jokowi, strategi jokowi, strategi prabowo, pencapresa 2019, pilpres 2019, politik demokrasi, pasangan capres, dramaturgi politik, politik nasional, nusantaranews
ILUSTRASI – Pilpres 2019 (Foto: Istimewa)

Apa yang kita harapkan dari sebuah Pilpres? Tentulah perubahan ke arah yang lebih baik. Bagaimana kalau harapan itu tidak terwujud? Tentulah tidak ada gunanya.

Itulah yang sekarang terjadi di Indonesia dengan Pilpres 2019. Dan kalau tidak ada gunanya, atau tidak bermanfaat, maka tidak perlu diadakan. daripada menghabiskan puluhan trilyun Rupiah! Apa ada alternatif lain untuk memenuhi harapan perubahan yang lebih baik? Tentu saja ada! Dan inilah yang akan kami sampaikan berikut ini.

Ingat ketika Soeharto terpilih kembali untuk ke tujuh kalinya pada Maret 98?! Lalu Soeharto jatuh pada Mei 98?! Jadi tidak ada gunanya Pilpres Maret itu, bukan? Sekalipun Pilpres yang dilakukan oleh MPR pada waktu itu sangat murah dibanding dengan Pemilihan Langsung April 2019 nanti.

Justru karena sangat mahal itulah, maka Pilpres 2019 menjadi lebih-lebih tidak perlu. Tentu tidak hanya soal biaya Pilpres, tetapi yang lebih penting adalah keyakinan akan adanya perubahan besar terhadap nasib dan masa depan Republik Indonesia.

Keadaan 2019 yang sekarang ini mirip dengan situasi 1998. Meskipun tidak sama seluruhnya. Sama, dalam artian dulu menolak Soeharto dan sekarang juga harus menolak Jokowi.

Soeharto harus dijatuhkan dan Jokowi pun sekarang harus dijatuhkan. Tapi juga ada beda antara dua Pilpres itu. Marilah kita bahas bagaimana bedanya, dan bagaimana mengatasinya demi nasib dan masa depan NKRI pasca Jokowi. Inilah yang amat sangat penting sekali.

Banyak yang tidak tahu, pada saat Soeharto mau tergelincir jatuh, pada 20 Mei pagi hingga siang hari itu muncul selebaran yang isinya adalah tentang “Beberapa Alternatif Pergantian Rezim Soeharto”. Ada lima Alternatif yang dibuat oleh Fraksi Golongan Karya. Singkatnya adalah sebagai berikut:

1. Diwujudkan Kabinet Reformasi dan Dewan Reformasi Nasional seperti disampaikan Pak Harto pada 19 Mei.
2. Presiden Soeharto berhenti dan digantikan Habibie sampai akhir masa jabatan, sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945.
3. Soeharto dan Habibie mundur dan dibentuk Pemerintah Transisi sampai SI-MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
4. Dilakukan SI-MPR, di mana Soeharto mengembalikan mandatnya kepada MPR.
5. Dilaksanakan SI-MPR di mana Soeharto dan Habibie mengembalikan mandat kepada MPR, lalu dilakukan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Di dalam SI-MPR itu, Soeharto dan Habibie tidak perlu menyampaikan pertanggung jawabannya.  Ternyata kemudian Soeharto memilih opsi ke dua. Hal itu dilakukan secara mendadak. Ketika datang ke Cendana menemui Soeharto bakda Maghrib, Habibie sebagai Ketua Dewan Harian Golkar sudah dipesan untuk menyampaikan opsi-opsi itu, serta bahwa ada 14 Menteri yang mengundurkan diri, sekiranya Pak Harto tetap menjadi Presiden.

Habibie tidak menyampaikan pesan-pesan itu. Dan Soeharto hanya bilang akan membentuk Kabinet Reformasi pada hari Sabtunya. Soeharto berubah pikiran, karena menjelang tengah malam mendapat telpon dari Menlu Medeleine Allbright agar Soeharto mundur. Soeharto pun patuh.

Opsi-opsi seperti alternatif Mei 1998 itu sudah harus mulai kita pikirkan sekarang ini, agar tidak kecolongan dengan tindakan Soeharto yang main mundur sendiri dan melantik Habibie sendiri. Kalau sekiranya bisa mengubah sejarah, mestinya Soeharto diadili dalam SI-MPR dan Habibie tidak harus dipilih menggantikan Soeharto.

Bahkan, sebelum Pilpres Maret 1998, Soeharto-Try Soetrisno mestinya sudah harus dijatuhkan dan SI-MPR membentuk sebuah Pemerintah Transisi.

Banyak yang lupa, ketika kami menolak Habibie diikuti oleh ribuan mahasiswa, 16 pemuda dan mahasiswa terbunuh dalam Aksi Semanggi-1. Belasan Pejuang Pam-Swakarsa tewas karena dibohongi agar melawan laskar Komunis. Satu lagi mahasiswa UI terbunuh dalam Aksi Semanggi-2.

Tersulut pula Perang Maluku dengan korban ratusan atau ribuan. Dan akhir yang menyedihkan adalah lepasnya Timor-Timur dari Pulau Timor dan NKRI. Kalau saja Soeharto dijatuhkan sebelum Pilpres Maret 1998, tidak ada sejarah yang sedemikian pahit terjadi. Kita pun tidak ingin mengulang itu lagi!

Demikian pula dengan Jokowi dan Jusuf Kalla sekarang ini. Mereka harus mundur, dan tidak mesti Bowo-Sandi yang harus menggantikan. Rezim Joko-Jeka sudah jelas harus diganti.

Mereka melakukan makar dan permufakatan jahat terhadap Kedaulatan Negara dengan cara mengajak pemerintahan asing untuk menguasai wilayah Indonesia.  (Bersambung)

*Sri Bintang Pamungkas, Penulis Adalah Aktivis Senior.

Exit mobile version