Khazanah

Pesantren Senantiasa Kukuh Menjadikan Dirinya Kekuatan Tunggal Moralitas Dunia

Ibnu Hajar/Foto Istimewa
Ibnu Hajar/Foto Istimewa

NUSANTARANEWS.CO – Pesantren sampai detik ini masih dianggap sebagai nahkoda pengembangan dan penyebaran nilai-nilai Islam yang paling tepat. Di tengah arus perkembangan global, pesantren tetap eksis mempertahankan dirinya dengan tetap mengimbangi setiap gerak kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dan sains, dengan tetap tidak kehilangan ruh monumentalnya : moralitas dan spritualitas.

Demikian buah pikiran sosok budayawan Sumenep, Jawa Timur, Ibnu Hajar yang ia tulis diberanda facebooknya, beberapa waktu lalu. “Sebab, di tengah ancaman runtuhnya nilai-nilai moralitas akibat pendewaan yang berlebihan terhadap sains, pesantren tetap kukuh menjadikan dirinya sebagai kekuatan tunggal moralitas dunia,” terang Ibnu.

Penyiar dengan suara khas ketika mengisi program “Sastra Udara” di salah satu Radio swasta di Sumenep itu menyatakan, bahwa pesantren dan sastra secara teologis dan historis bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

“Secara teologis, masalah keindahan (sastra) sudah tidak diragukan lagi: bahwa keindahan merupakan ajaran substansial dalam ajaran teologi pesantren. Sementara secara historis, sastra telah menjadi kegiatan tersendiri kalangan pendiri pesantren di masa lalu, seperti yang dilakukan oleh Wali Songo,” kata alumnus Universitas Muhammadiyah (UNMU) Malang itu.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Seni sastra, lanjutnya, oleh Wali Songo dijadikan sebagai alat dan media yang kreatif untuk membumikan nilai-nilai Islam. Wali Songo mampu menjadikan sastra sebagai wasilah untuk memenuhi dua hal, yaitu keindahan sastra itu sendiri dan sarana dakwah Islamiyah.

“Jauh sebelum gerak sastra para Wali Songo, para tokoh muslim di masa-masa kejayaan Islam telah menekuni dunia sastra dengan nuansa islami. Kita mengenal sosok Jalaluddin Rumi dengan karya sastranya yang monumental, Masnawi,” jelas dia.

Selain itu, tambahnya, Ibnu Muqaffa menerjemahkan Kalila wa Dimnah karya Baidaba dari bahasa India ke dalam bahasa Arab, Ibnu Sina menulis Salama wa Absal, Hayy Ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyah (Pengasingan di Barat), Risalah at-Thayr (Risalah Burung), Ibn Hazam menulis Tauqul Hamamah (Kalung Burung Merpati).

“Bahkan masih banyak tokoh-tokoh muslim yang berhasil menulis karya sastra, seperti Abu A’la al-Ma’arri, Hatim at-Tha’i, Abu Nuwas al-Hani, Abu Faraj al-Asfahani, Rabiah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, dan al-Hallaj,” pungkasnya. (Selendang)

Related Posts

1 of 41