NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Adanya fenomena dan kasus pernikahan anak yang akhir-akhir ini ditemukan karena faktor budaya dan ekonomi. Hal tersebut diungkap oleh Ketua Bidang Pengembangan Ekonomi dan Kelompok Profesional KOPRI PB PMII, Novia Nengsih.
“Faktor budaya merupakan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat menikahkan anaknya di usia dini,” kata Novia Nengsih ditemui di Sekretariat PB PMII, Jakarta, Kamis (19/10/2017).
Novia menuturkan, faktor ekonomi dan kemiskinan keluarga mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya di usia dini. Anggapan orang tua, menikahkan anak merupakan solusi untuk keluar dari kemiskinan.
Hanya saja, menikahkan anak dibawah umur bukanlah memberikan solusi atas kemiskinan.
“Namun pada kenyataannya menikahkan anak di usia yang belum mapan malah memperbesar kemiskinan,” ucapnya.
BACA JUGA:
- Pernikahan Anak Dinilai Langgar PP Tentang Wajib Belajar
- Yayasan Sayangi Tunas Cilik: Stop Pernikahan Dini Anak Perempuan
- KOPRI PB PMII: Pernikahan Dini Berdampak Buruk Bagi Kesehatan Perempuan
- Usia Perkawainan Minimal 21 Tahun Dinilai Usulan Baik
Jika pernikahan dini ini terjadi pada anak laki-laki, kata Novia, mereka belum memiliki kekuatan ekonomi untuk menghidupi keluarganya. Begitu pula jika terjadi pada anak perempuan yang biasanya kebanyakan mereka juga tidak bekerja, atau belum memiliki sumber penghasilan.
Menurut Novia, hal lainnya adalah pendidikan. Baik anak laki-laki maupun perempuan, belum memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni, sehingga susah untuk mengakses pekerjaan layak sebagai jalan menafkahi keluarganya.
“Inilah yang menyebabkan anak yang menikah di bawah umur, masuk dalam lingkaran kemiskinan dan sulit untuk melepaskan diri dari lingkaran kemiskinan itu,” pungkasnya.
Pewarta: Nita Nurdiani Putri
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews