Inspirasi

Yayasan Sayangi Tunas Cilik: Stop Pernikahan Dini Anak Perempuan

NusantaraNews.co, Jakarta – 11 Oktober 2017 merupakan Hari Anak Perempuan Internasional (HAPI) yang telah diresmikan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sejak tahun 2012 silam. Pada peringatan HAPI ini, Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) kembali mendorong anak-anak perempuan Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

Menurut data UNICEF, pada tahun 2012 46,7 persen anak Perempuan yang tidak bersekolah atau tidak pernah menyelesaikan SD menikah sebelum usia 18 tahun. Dengan menyelesaikan SMP, prevalensi perkawinan anak turun dari 40,5 persen menjadi 26,5 persen. Sementara anak yang bersekolah sampai SMA prevalensi perkawinan sebelum 18 tahun turun sampai 5,0 persen.

Ketua Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) Selina Sumbung, menggarisbawahi sisi akses pendidikan perempuan yang dinikahkan di usia anak. Menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 dari jumlah total populasi perempuan berusia 20-24 tahun, 25 persen di antaranya menikah sebelum usia 18 tahun.

Anak perempuan, lanjutnya, yang menikah cenderung tidak melanjutkan pendidikannya, dibandingkan anak laki-laki. Ini berdampak signifikan pada perekonomian negara kita dimana Indonesia berpotensi kehilangan hampir seperdelapan potensi jumlah penduduk kita untuk berkarya dan bersumbangsih bagi kemajuan perekonomian bangsa.

“Masalah perkawinan anak adalah isu yang harus ditangani bersama dari berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya oleh LSM dan Pemerintah. Kenyataan bahwa angka perkawinan anak yang sempat turun di Indonesia, tetapi kemudian naik lagi dua tahun terakhir ini membuktikan bahwa perjalanan kita untuk menghentikan perkawinan anak masih panjang.” ujar Selina.

Dia melanjutkan bahwa seperti halnya perkawinan menghentikan akses pendidikan untuk anak perempuan, begitu juga sebaliknya. “Pendidikan dapat membantu mengurangi angka perkawinan anak,” ujar Selina.

Kendati demikian, tambah dia, tidak ada bukti bahwa pernikahan anak dapat menyelesaikan masalah kemiskinan yang menjadi salah satu alasan melepaskan anak untuk “mandiri.” selain itu, juga masih ada persoalan disabilitas yang berhubungan erat dengan kemiskinan.

“Jawaban dari kedua masalah ini terletak pada pendidikan. Memastikan anak-anak perempuan tanpa terkecuali agar mendapatkan pendidikan berkualitas, dapat mencegah mereka menjadi korban perkawinan anak, dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan potensi ekonomi yang lebih baik di masa yang akan datang,” (red02)

Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 3