Kesehatan

Usia Perkawainan Minimal 21 Tahun Dinilai Usulan Baik

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada 23 Juli 2017 kemarin, Koalisi Perempuan Indonesia menggelar konferensi pers guna membahas sejumlah persoalan dan masalah besar yang masih terjadi pada anak-anak. Salah satu masalah besar yang disebutkan ialah soal maraknya pernikahan di bawah usia, atau usia masih terbilang anak-anak.

Berdasarkan data BPS, angka perkawinan anak masih cukup tinggi di Indonesia. Dikatakan, pada 2012 terdapat sedikitnya 989.814 kasus anak perempuan menjadi korban praktik perkawinan anak. Angka ini terus menurun pada tahun-tahun sesudahnya, tetapi tidak signifikan. Pada 2013 berjumlah 954.518 anak dan pada tahun 2014 masih 722.518 anak.

Adapun perkawinan anak tersebut terjadi ketika mereka masih berusia di bawah 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan berbagai pertimbangan, Koalisi Perempuan Indonesia mendesak pemerintah untuk membuat aturan tegas tentang batas minimal usia laki-laki dan perempuan menikah. Mereka mengusulkan 21 tahun minimal. Pasalnya, sampai saat ini usia minimal pernikahan, khususnya pada perempuan ialah 16 tahun, dan pria 19 tahun. Undang-Undang No 1 tahun 1974 terkait pernikahan dinilai seakan melegalkan anak melakukan perkawinan.

Baca Juga:  DBD Meningkat, Khofifah Ajak Warga Waspada

Menanggapi usulan ini, psikolog hubungan romantis dan kebahagiaan, Pingkan CB. Rumondor sepakat dengan usulan usia perkawinan minimal 21 tahun.

“Menurut saya itu usulan yang baik karena pada usia 21 tahun manusia memasuki tahap dewasa muda, sudah lulus SMA/sederajat dan semakin matang sebagai individu,” kata dia saat dihubungi, Jakarta, Senin (24/7).

Pingkan mengatakan, kematangan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan emosi akan berdampak baik untuk relasi dalam pernikahan.

Hal senada diungkapkan Pemerhati Pendidikan dari Universitas Pelita Harapan (UPH)-Jakarta, Upi Isabella Rea.

“Saya sependapat dengan pandangan Koalisi Perempuan yang meningkatkan usia pernikahan dari 18 tahun wanita dan 19 tahun pria, menjadi masing-masing 21 tahun. Sebab pendidikan harus dirancang secara holistik terjadi perpaduan antara seluruh aspek pribadi manusia. Mulai dari kognitif, psikologis, kesehatan, ekonomi, sosial, dan biologis. Sehingga tujuan pendidikan bisa tercapai optimal dan mencapai target yang diharapkan,” kata dia saat dihubungi.

Namun, kata Upi, sesungguhnya perlu diingat bahwa, tidak ada korelasi signifikan antara masalah kognitif dengan pernikahan. Sebab otak manusia selalu mengalami pertumbuhan alami dengan atau tanpa pernikahan. Tetapi dalam konteks pendidikan yang berkaitan dengan keberadaan manusia secara utuh, maka tentu saja tidak bisa membuat pemisahan aspek kognitif tersendiri dari aspek lainnya. Itu sebab, pendidikan selalu dikaitkan dengan banyak aspek hidup manusia.

Baca Juga:  Pemkab Pamekasan Dirikan Rumah Sakit Ibu dan Anak: Di Pamekasan Sehatnya Harus Berkualitas

“Maka dari itu, pembatasan usia pernikahan menjadi 21 tahun lebih ditujukan agar pribadi itu bisa bertanggungjawab terhadap keluarganya tanpa terbeban lagi dengan tugas belajarnya sebagai siswa. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa melibatkan aspek-aspek yang sama untuk mengelola pernikahan dan mengikuti pendidikan,” papar Upi.

Ditambahkannya, perlu kematangan dalam hal berpikir dan bertanggungjawab. Tidak bisa tidak, karena baik pendidikan maupun pernikahan itu bukan hal yang sepele atau main-main.

Pewarta: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 2