Perluas Kajian Strategi Advokasi, LP3A KOPRI DIY Lebarkan Sayap Ke Kancah Internasional

KOPRI PMII DIY di Pusat Studi Kepemimpinan Perempuan, Malaysia. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)
KOPRI PMII DIY di Pusat Studi Kepemimpinan Perempuan, Malaysia. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Malaysia – Departemen perempuan di PMII yakni Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) sebagai badan semi otonom yang mempunyai beberapa kajian khusus yang fokus pada isu perempuan seperti ​feminism​, equality​, ​justice dan lain sebagainya. Dalam KOPRI sendiri terdapat beberapa divisi seperti kaderisasi dan advokasi.

LP3A (Lembaga Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak) dibentuk sebagai lembaga advokasi KOPRI DIY yang ditujukan untuk mengkaji beberapa kasus dan pendampinganya di masyarakat. LP3A juga dimaksudkan dapat menjadi lembaga yang ikut serta memperjuangkan dan merumuskan kebijakan yang pro perempuan.

“Selain mengkaji beberapa metode advokasi dan melakukan pendampingan perempuan di Indonesia, acara yang diselenggarakan selama sepekan di akhir januari tersebut juga bertujuan untuk menjadi pelopor ​study visit dan pelebaran sayap di kancah internasional,” kata sekretaris program ekaligus pengurus kopri PC PMII DIY Richa Fitria Shofyana melalui keterangan resminya kepada nusantaranews.co, Minggu (3/2/2019) malam.

Aktivis perempuan yang akrab di sapa fika ini menyebutkan bahwa program ini dibuat sebagai pembuka hubungan internasional yang diharapkan bisa dilakukan secara continue oleh generasi selanjutnya.

“Selain penguatan pembelajaran strategi advokasi yang diharapkan mampu menjadi contoh dan evaluasi LP3A selama ini, study visit ini juga diharapkan menjadi penguatan kapasitas anggota LP3A sendiri,” katanya.

Dia juga menyampaikan ada beberapa institusi yang berhubungan langsung dengan pemerintah, ataupun yang tidak berhubungan dengan pemerintah yang menjadi prioritas kunjungan selama berada di Malaysia. Pusat Studi Kepimpinan perempuan Tun Fatimah Hasyim Universitas Kebangsaan Malaysia contohnya, Pusat Studi yang bekerja sama dengan kerajaan malaysia ini merupakan lembaga perempuan yang ​massive dan vocal. “Fokus kajian mereka adalah kepemimpinan perempuan. Bagaimana perempuan bisa ikut andil mengambil kebijakan di perlemen,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Tun Fatimah Hashim, Prof. Datin Dr. Norizan Abd. Razak mengatakan masih sangat minim sekali kesempatan yang diberikan kepada para perempuan di parlemen Malaysia untuk ikut andil dalam perumusan kebijakan.

“Maka dari itu, pusat studi ini dibuat khusus untuk membentuk cendekiawan perempuan yang cakap dan mampu menjadi pelopor dan pembuat kebijakan di parlemen, bukan hanya sebagai pengisi parlemen. Bukan hanya pelatihan dan pertemuan, research yang dilakukan di pusat studi ini juga dilakukan secara ​holistic dan continue ​sehingga data yang didapat juga bisa dipastikan update dan faktual,” kata Prof. Razak.

Lebih lanjut Fika mengatakan, ini menjadi koreksi tersendiri bagi LP3A KOPRI DIY yang masih sangat minim sekali dalam penelitian, sehingga analisis secara data juga tidak aktual dan menggantungkan dengan data analisis dari lembaga lain yang ada dan seadanya. “Dengan adanya kunjungan ke Tun Fatimah hashim, LP3A KOPRI DIY juga mencanangkan kerjasama lebih lanjut dalam hal penelitian di Indonesia dengan Tun Fatimah hashim,” ungkapnya.

Sekadar diketahui, selain berkunjung ke Pusat Studi Tun Fatimah hashim, kunjungan juga dilakukan ke Sister In Islam. Organisasi yang bersifat Non Goverment Organization ini sangat berbeda dengan Tun fatimah Hashim. Jika di Pusat Studi tersebut mendapat dukungan penuh dari penuh dari pemerintah, justru Sister In Islam ini mendapat kecaman dan dilabeli Liberal.

Contohnya dalam isu pernikahan dini, sebut Fika, pemerintah Malaysia yang memberikan batasan umur 16 tahun dinilai tidak pro perempuan. Kebanyakan perempuan yang menikah pada umur 16 tahun tersebut tidak sesuai dengan keputusanya sendiri, melainkan adalah keputusan dari orang tuanya.

“Ini merupakan pelanggaran dari hak untuk membuat keputusan dalam hak asasi manusia. Padahal banyak sekali hal negatif dampak dari pernikahan dini. terutama kesehatan reproduksi yang sering kali diabaikan. Penolakan sikap ini tentu saja dianggap sebagai bentuk makar terhadap negara,” katanya.

Di indonesia, sambungnya, kasus pernikahan dini juga masih tinggi, aktivis ham juga masih melakukan perjuangan panjang terkait isu ini, tapi tidak seperti di malaysia. Di indonesia aksi massa dan penolakan terhadap pemerintah bersifat terbuka dan dianggap hal yang lumrah oleh pemerintah. Isu lain yang di perbincangkan adalah poligami, kekerasan terhadap perempuan dan human rights.

“Pendampingan terhadap korban dan pengawalan kebijakan pemerintah di malaysia juga layak kita apresiasi. Walaupun kebijakan dan perjuangan yang pro perempuan di malaysia masih begitu minim. Namun, spirit dna pertahanan Sister In Islam layak dijadikan contoh dalam perjuangan-perjuangan yang masih di kibarkan di indonesia,” tutup Fika.

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Exit mobile version