Perempuan yang Membuka Jendela Kamar Di Alamanda – Puisi Fitrah Anugerah

Perempuan menatap/ilustrasi SelArt

Perempuan menatap/ilustrasi SelArt

Di Alamanda

Di Alamanda
kesepian adalah lakon yang mesti diperankan
pada pentas di tengah tenang alir danau
yang suka menghanyutkan gerak rahasia
di antara jebakan keheningan dalam kilau menakjubkan

Tinggal menunggu berapa lama kesetiaan pijar lampu
berbagi jarak dengan gelap jalanan
dan seakan ingin turut mengambil peran
pada pentas kesepian. Tapi semak-semak liar
tak mengizinkan setiap nyala lampu beralih darinya

Di Alamanda
Suara denting sendok yang beradu dengan mangkok bakso
seakan gagal mengoyak padat kecongkakan jalanan hotmix
hanya menumpuk sejumlah obrolan tentang keriuhan di beranda seberang
yang tak bertutup pintu rumah dan tak menyimpan malam dalam gordyn
-lalu setelah itu kita gusar pada esok yang telah mengekalkan setiap nama
dalam catatan yang tak kunjung terhapus  meski peran kesepian tlah menghilang

Bekasi, 2016

Perempuan yang Membuka Jendela Kamar

Di depan jendela kamar tidur yang terbuka,
perempuan itu masih menirukan suara anaknya
yang malam ini sedang menjerit kepanasan
dengan jerit yang diserupakan dengan rintih sang anak
:”Cobalah kau menghadap ke langit.
barangkali angin sedang merencanakan sebuah mimpi buat anakmu”

Tapi tangis perempuan itu tiada berhenti,
gerak kaki menghentak, membuang sayup angin
melupakan sang anak yang sudah bermain-main
dengan  airmata. inilah bagian tersulit  sebab tangan
terlampau lemah memungut curahan  airmata

Lalu malam bagi dia serasa memberi tipuan yang panjang
sejak sang anak berhenti berisak,
sedang angin beringsut malu, melepas
setelah membayar mimpi sang anak.

Tentu perempuan itu kan menutup jendela kamar
sebelum matahari keringkan genangan airmata
di tubuh polos sang anak. sedang mimpinya biarkan tertambat
dan berkilau pada kaca jendela kamar

Bekasi, 2016

Ibu Bergegas Menghilang

Ibu bergegas menghilang,
setelah bingkai jendela mengirimkan pesan
dari sekumpulan burung yang berpulang

aih warna senja yang bisanya murung
berganti warna sorak
seakan mengajak ibu yang telah mencapai puncak ketuaan
menjadi kanak-kanak  yang bermain dengan waktu

Ibu bergegas melepas bibir mungil kanak-kanak
yang lekat terpahat pada garistangan
dia membersihkan tuntas dalam mata-air
tanpa pernah tahu anaknya telah tenggelam
yang tak berucap “tolong” buatnya terlebih dulu

Tentu saja ibu tak mau berkarib kembali
pada kisah murung kanak-kanak.
sebab kepak burung  patahkan tangis ibu
di danau yang sudah berkerumun cahaya-cahaya asing
yang tak bisa diterjemahkan oleh mata kanak-kanak

Bekasi, 2016

Sepanjang Jalan Fatmawati

Diri seperti angin, terbang kemana-mana
mencari engkau yang menghilang dalam keramaian
jalanan kota. Oh apakah engkau masih mengenalku?

Malam ini aku mendatangimu,
tumpahkan rindu dalam pelukan,
telah lama tak dengar kisahmu,
ketika kau berjalan susuri jalan kota

Ternyata masih seperti dulu
tubuhmu masih hangat,
menyimpan bara rindu,
bertemu sang kekasih yang hilang

Namun keangkuhan membuat kau
terdiam di tepi jalan.
namun kenangan takkan terlepas
mengingatmu membuat dinding hati
semakin robek, setelah kau sayat dengan cerita
tentang hidup yang terus terpinggir.

Pun aku menepikan harap, mendiamkan engkau
menjadi abadi.

Bekasi,2016

Kematian Tikus

seekor tikus mati sendirian
tubuhnya terkoyak membusuk
di tengah jalanan lembab
tersentuh pendar cahaya pinggiran

tak ada upacara duka mengiringi
atau doa sederhana yang menutupi
hidupnya begitu saja terasa percuma
terlupakan sia-sia tanpa arti

semalam sebelumnya gentayangan
menggoda niat kucing berlari mengejar
seakan mengajak bermain petak-umpat
padahal keberuntungan selalu remang membayang

apakah bunyi langkahnya di kolong plafon
adalah gerak kecemasan
atau kita menjadi jengkel sendiri
terbawa dalam mimpi tidur

seekor tikus telah mati
harinya telah selesai
tapi matanya masih saja terbuka
sepertinya memohon kehidupan kembali
walau nasib berakhir malang

moncong senapan angin masih menuju padanya
seakan meyakinkan antara kehidupan dan kematian
mudah tersingkap menjadi bangkai tanpa upacara
dan ruah busuk terasa sia-sia mengejar sapa duka

2016

Fitrah Anugerah

*Fitrah Anugerah. Lahir di Surabaya, 28 Oktober 1974. Berpuisi sejak kuliah di Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB, Universitas Airlangga Surabaya. Puisinya dimuat di media nasional dan lokal, di antaranya: Buletin Kanal, Langgam Sumut Pos, Fajar Sumatera, Indo Pos, Banjarmasin Pos, Harian Sastra Sumbar, Padang Ekspress, Minggu Pagi, Media Indonesia, Sinar Harapan, Suara Karya, Bangka Pos, Joglosemar, Radar Bekasi, Sriwijaya Post, Surabaya Post, Jurnal Sarbi, Jurnal Sajak.com, Kompas.com, dan Majalah Jejak. Sekarang bergiat di Forum Sastra Bekasi (FSB) Bekasi. Beberapa puisinya dibukukan dalam Antologi Memandang Bekasi (2015),  Kumpulan Puisi e-book “Jalan Setapak, (Evolitera : 2009), Antologi Puisi Bersama “Kepada Bekasi” (2013), Antologi Di Negeri Poci 5: Negeri Langit (2014), Antologi Puisi Lumbung Sastrawan Indonesia I dan II, Antologi Jaket Kuning Slamet Sukirnanto, dan Antologi Tifa Nusantara 2, Antologi Puisi Sakarepmu 2016Antologi Puisi Kampungan 2016, Antologi Puisi Wayang 2016, dan Antologi Puisi Pasie Karam 2016. Sekarang bekerja dan bertempat tinggal di Bekasi.

Exit mobile version