Pencitraan Jokowi Penyebab Harga Daging Sapi Mahal

Presiden Joko Widodo/Foto via Detik

NUSANTARANEWS.CO – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa harga daging sapi di Indonesia harus berada dikisaran Rp 80.000 per kilogram atau bahkan turun di bawah angka tersebut. Penegasan Jokowi itu berkaitan dengan kenyataan di sejumlah pasar harga daging sapi rata-rata nasional saat ini mulai merangkak naik dan bertengger antara Rp 110.000 hingga Rp 130.000 per kilogram.

Kenapa harga daging sapi tetap bertahan tinggi meski sudah ada instruksi dari presiden?

Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HPPI) Ismed Hasan Putro menyebut ada beberapa penyebab yang membuat harga daging sapi selalu tinggi apalagi saat menjelang puasa, lebaran, dan hari-hari besar lainnya. Dia menyebutkan sedikitnya ada empat kerangka yang membuat harga daging sapi tinggi. Pertama, desain pangan di Indonesia masih sangat konvensional dan belum dirancang secara modern sebagaimana yang ada di negara-negara berkembang dan maju seperti Korea Selatan, Jepang, dan China.

“Kerangka kedua proses produksi dan distribusi masih pendekatannya yudalistik,” tutur Ismed dalam acara diskusi publik bertema ‘De Javu Harga Sembako’, di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, (4/6/2016).

Ketiga, kata dia, karena infrastruktur pangan dan distribusi masih menggabungkan sisa-sisa jaman Orde Baru (Orba). Sedangkan kerangka yang ke-empat, lantaran regulator masih terperangkap pada kepentingan pemburu rente atau mafia pangan. “Jadi empat hal ini hemat saya yang membuat problem pangan di Indonesia itu 30 tahun ini tidak pernah terselesaikan atau bahkan sejak pasca orde baru pangan kita itu lumpuh. Yang akibatnya konsumen atau masyarakat selalu di dera secara laten oleh permainan-permainan yang di manuver oleh sekelompok kepentingan mafia pangan plus elit politik,” ungkapnya.

Kelumpuhan tersebut, tambah dia, masih akan terus berkelanjutan jika politik dari pemerintah masih setengah hati dan pemerintah belum mengkonsolidasikannya secara sinergis ke semua pihak-pihak terkait untuk berkoordinasi agar masalah-masalah itu bisa terselesaikan dalam jangka panjang.

“Sudah saatnya kita mengatasi problem pangan ini bukan hanya untuk lebaran dan hari-hari besar. Harusnya itu replika selama 5-10 tahun, nah itu yang tidak ada sama sekali sekarang,” sarannya.

“Jadi presiden memang harus mengambil langkah politik yang tegas, masih mau berkompromi dengan mafia tangan atau tidak. Kalau tidak hentikan, setiap elit pejabat yg bermain dengan mafia hentikan penjarakan serahkan kepada KPK,” katanya.

Adapun bentuk kompromi pemerintah dengan mafia pangan selama ini sangat mudah sekali yakni melalui pencitraan. “Begini deh sederhana sekali harga dinaikan dalam waktu satu bulan. Mereka berdalih bahwa sok kurang, padahal data dari BPS dan Kementan cukup. Jadi ketika dimainkan oleh pedagang ketika dimainkan oleh pedagang seolah-olah stok itu kurang padahal cukup. Namun karena pemerintah menjaga pencitraan, ketika pencitraan itu dipentingkan. Nah disitulah terjadi lobi dan negosiasi. Ketika negosiasi itu terjadi, datanglah para petani, peternak berdasi dihotel melobi pemerintah dan bertransaksi akan kuota impor. Nah kuota itulah yg menguntungkan segelintir orang mafia pangan itu dan mendera masyarakat dan para petani,” ungkapnya.

Untuk mengatasi hal-hal seperti itu lanjut dia, presiden Jokowi harus secara tegas mengubah sistem impor pangan itu. “Bukan dengan sistem kuota tapi dengan sistem tarif. Siapa yang bisa harga Rp 60.000 di Indonesia, dialah yang bakal dapatkan kuota impor sebanyak-banyakya. Kalau mereka yang tidak mau, maka ijinnya cabut ! Nah KPK dan KPPU kontrol itu,

Jadi kesimpulannya, tambah dia, cuma soal ketegasan dan kemauan politik presiden Jokowi. Kalau saja pemerintah tidak di permainkan lagi, maka konsumen tidak akan terbebankan. Meski dalam hal ini peternak sulit untuk dilindungi. (Restu F)

Exit mobile version