CerpenTerbaru

Pelayan Tuhan di Perbatasan Baduy

Pelayan Tuhan di Perbatasan Baduy
Pelayan Tuhan di Perbatasan Baduy

Pelayan Tuhan di Perbatasan Baduy

Oleh: Irawaty Nusa

Di musim kemarau dengan cuacanya yang panas menyengat, Pastor Wisnu sedang berjalan-jelan di taman gereja di perbatasan Kota Rangkasbitung dan pemukiman penduduk Baduy. Ia mengenakan jubah sambil menggenggam rosario di tangannya. Nampak macam-macam bunga yang terawat rapi di sekitar taman. Semerbak harum mawar dan gardenia menciptakan suasana menjelang senja yang senyap dan lengang di sekitar gereja.

“Pemandangan di sekitar Kota Rangkasbitung memang bagus. Tanah-tanah bergelombang dengan rumput-rumput hijau terhampar indah di perbukitan, sungguh merupakan anugerah Tuhan yang tiada terhingga,” sang pastor merenung sambil memuji kebesaran Tuhan. “Ya, di sepanjang ngarai dan perbukitan, pohon apa saja bisa tumbuh, bahkan bunga-bunga indah semerbak dapat tumbuh subur dan mekar di mana-mana.”

Penduduk asli Baduy yang tinggal di perbatasan juga mendapat pelayanan dari gereja dan rumah sakit “Misi” yang berdiri sejak zaman penjajahan Belanda. Selain itu, penganut ajaran Kristen semakin bertambah jumlahnya, hingga mencapai ribuan orang. “Beberapa gereja di Kota Rangkasbitung sudah dibangun sejak berabad-abad lalu. Itu artinya, memberi pelayanan dan mengemban tugas suci di wilayah ini akan menjadi baik dan lancar,” gumam sang pastor.

Tapi lama kelamaan, Pastor Wisnu merasa bosan dan jengah juga. Sesekali ia mencoba untuk menampik perasaan negatifnya, karena seringkali ia tergoda oleh nostalgia di Yogyakarta, kampung halamannya. Ia pun kerap membayangkan dirinya jika saja bertugas di tempat lain seperti Ambon, Aceh atau bahkan di Irian Jaya.

Lalu, apa yang menyebabkan ia ingin pergi dari tugas sucinya di perbatasan pemukiman Baduy? Bukankah ia merasakan indahnya pemandangan dari tanah-tanah bergelombang, serta kebun dan sawah-sawah berundak seperti di perkampungan Bali?

Pastor Wisnu menghela napas panjang. Dalam perjalanan melintasi taman di serambi gereja, tiba-tiba ia dikejutkan oleh tumbuhnya bunga-bunga berwarna putih dan pucat. Beberapa helai bunga menyebar pula di sekitar rerumputan dalam bayang-bayang pohon kaktus di sekitarnya. Ia terkejut seraya menancapkan pandangannya ke arah langit, sambil bergumam, “Tuhan Yesus, lindungilah kami yang tidak memahami mengapa bunga-bunga bakung ini bisa tumbuh di sekitar sini.”

Ia membuat tanda salib guna mengusir roh jahat, tapi kemudian seorang penjaga pintu gerbang mendekatinya sambil memperingatkan, “Pak Pastor, itu bukan bunga bakung tapi hanya bunga-bunga liar yang biasa tumbuh di sekitar rerumputan. Kebetulan ia berwarna putih seperti bunga melati.”

Pastor Wisnu mengucap terimakasih atas pemberitahuan itu. Ia melangkah ke ruang kapela sambil tersenyum, menahan rasa malu pada dirinya sendiri.

***

Setelah berdoa sambil meremas-remas rosario yang menggelayut di lehernya, sang pastor menatap sebuah lukisan dalam waktu yang cukup lama. Lukisan itu menggambarkan St. Mikael yang sedang bertempur melawan keganasan Iblis. Malaikat Agung yang pemberani dengan Iblis yang liar dan ganas, nampak begitu anggun di bawah sorotan cahaya lampu yang redup. Lukisan itu terlihat memesona, ditambah wangi-wangian yang segar dari aroma bunga-bunga mawar yang menjadi hiasan altar.

Di depan altar, sang pastor mengungkap penderitaannya secara panjang-lebar selama dirinya bertugas di perbatasan pemukiman Baduy. Ia membeberkan adanya kekuatan-kekuatan misterius mengintai di sekitar gereja, di hutan-hutan, perbukitan, rumah-rumah penduduk bahkan di sekitar Kota Rangkasbitung. Kekuatan yang tak terlihat secara kasatmata, mulai mencampuri misi dan tugas sucinya. Jika tidak, mengapa ia merasa tertekan tanpa alasan yang jelas?

Ia tak sanggup memahami adanya kekuatan aneh itu. Setiap saat ia seperti mengintai gerak-geriknya, seperti menyembul dari bawah tanah, menyebar di mana-mana di sekitar perkampungan hingga perkotaan.  “Tanpa kemampuan untuk menghancurkan kekuatan ini, ya Tuhan, akan mustahil orang-orang Baduy yang tersesat itu dapat mencapai surga-Mu. Tolonglah kami, Tuhan. Berkati pelayan-Mu ini dengan segala keberanian, keteguhan hati, dan kesabaran.”

Baca Juga:  Terkait Uka-Uka, Ketum PPWI: Kegiatan Ilegal, Tanpa Dasar Hukum

Seketika itu, bunyi suara serangga dan kokok ayam saling bersahutan dari pemukiman Baduy Dalam di daerah Cibeo dan Cikeusik. Dengan tidak mempedulikan suara-suara binatang itu, sang pastor terus berdoa, “Tuhan, untuk mencapai misi suci ini, bagaimanapun aku harus berperang melawan kekuatan misterius yang bersembunyi di sungai-sungai, di lembah-lembah dan perbukitan, bahkan di hutan dan gunung-gunung. Aku tahu Engkau pernah menenggelamkan pasukan Mesir ke dasar Laut Merah. Kekuatan spiritual di daerah Baduy ini sama saja dengan pasukan-pasukan Mesir. Tolonglah, Tuhan, seperti halnya Engkau menolong para nabi di masa lampau. Tolonglah aku, dalam memerangi kekuatan roh-roh jahat di sekitar sini….”

Pastor Wisnu seketika terkejut ketika melihat ayam jantan yang ekornya menjuntai tahu-tahu melompat dan berdiri di atas altar. Ia berkokok sekaras-kerasnya seperti mengabarkan datangnya waktu pagi. Tak berapa lama, berdatangan puluhan bahkan ratusan ayam berkeliaran di sekitar gereja. Beberapa ayam jantan yang berjengger panjang tiba-tiba melompat di sekitar kapela yang disinari cahaya redup. Cahaya itu berkelap-kelip kemudian mati seketika seperti terkena korsleting. Si Pastor berusaha mengusir ayam-ayam itu, tetapi ayam-ayam itu hanya berlarian berputar-putar di sekitar kapela dan altar, kemudian saling buang air di sekitar itu.

Beberapa saat kemudian, muncul puluhan kambing gunung saling mengembik dan bersahutan satu sama lain. Yang membuat pastor terperangah kaget, kambing-kambing itu saling buang air, dan tahi-tahi yang keluar dari duburnya serupa dengan biji-biji tasbih rosario yang dikenakannya.

“Ya Tuhan, ada apa ini? Lindungilah kami, Tuhan.” Si Pastor mencoba membuat tanda salib, tetapi tangannya tak bisa bergerak. Seperti ada ikatan keras dari suatu kekuatan dahsyat.  Tak lama kemudian, muncul cahaya kemerahan yang memenuhi udara dan seketika memasuki ruang kapela. Si Pastor menyaksikan sosok bayangan melayang-layang dalam cahaya kemerahan, sampai kemudian sosok-sosok itu menampak dengan jelas.

Ia menyaksikan para tetua dan leluhur Baduy mengenakan baju putih dan ikat kepala sambil duduk-duduk minum lahang yang disadap dari pohon aren. Di tengah lingkaran terlihat beberapa lelaki meniup seruling, dan para perempuannya memainkan musik angklung. Dari kerumunan itu tiba-tiba muncul sosok lelaki raksasa yang berdiri setinggi bukit. Di sekitar bahu dan kepalanya bertengger puluhan ayam-ayam jantan berkokok sambil menggerak-gerakkan jengger dan ekornya yang panjang. Si Pastor terkesiap dan bertanya-tanya apakah ia sedang bermimpi. Ia tak bisa mempercayai penglihatannya.

Beberapa perempuan, setelah memainkan angklung tiba-tiba membuka baju-baju mereka. Payudaranya nampak terlihat menghiasi tubuh-tubuh mereka yang sintal dan berwarna kecokelatan. Tiba-tiba, payudara mereka bercahaya terang. Si Pastor berusaha mengalihkan pandangannya meski ia tak bisa bergerak bebas. Tubuhnya seakan masih terbelenggu dan terikat oleh kekuatan misterius. Kemudian, kepalanya merasa pusing dan matanya berkunang-kunang, hingga ia rubuh dan terjatuh ke lantai.

***

Menjelang tengah malam, Pastor Wisnu kembali sadar. Ia merasa masih bisa mendengar gema suara roh-roh leluhur dari suku Baduy. Beberapa waktu kemudian, ia mengamati sekitarnya dan melihat tak ada seorang pun di kapela. Yang ada hanya lampu yang menggantung di dinding, cahaya redupnya menerangi lukisan. Sambil mengeluh karena rasa pusing, perlahan-lahan ia meninggalkan altar. Ia memikirkan makna halusinasi yang disaksikannya, namun sulit sekali memahaminya. Meskipun ia merasa yakin bahwa halusinasi itu bukan pekerjaan Tuhan yang ia sembah.

“Bertempur melawan roh-roh jahat di perbatasan Baduy ini,” ia bergumam pada dirinya sendiri, “nampaknya lebih sulit dari apa yang saya bayangkan. Saya tidak tahu, apakah akan berakhir dengan kemenangan atau justru kekalahan…”

Tiba-tiba terdengar suara berbisik di telinganya, “Kau akan kalah, Pastor… kau tidak akan menang!”

Pastor Wisnu menoleh ke arah datangnya suara. Tapi ia tak melihat apapun kecuali mawar dan bunga-bunga lainnya yang mekar diterangi redupnya cahaya lampu.

Baca Juga:  Perekrutan Paksa Menyebabkan Masalah Serius di Masyarakat Ukraina

Sore berikutnya, Pastor Wisnu berjalan-jalan lagi di taman gereja. Beberapa pohon palem dan pohon kayu manis berdiri tegak di taman yang mulai diliputi gelap. Hanya terdengar suara kepak sayap burung-burung merpati memecah kesunyian. Burung-burung itu terbang pulang ke atap gereja. Harum mawar dan kelembutan tanah di sekitarnya mengingatkan Pastor pada cerita tentang senja yang tenang di masa lampau, ketika para malaikat terpesona oleh kecantikan para wanita dari kalangan manusia, kemudian saling turun ke bumi untuk mencari pasangan.

Pada saat itu, pikirannya merasa tenang dan matanya berbinar-binar. Baginya, tetap roh-roh leluhur Baduy tidak akan menang di hadapan cahaya salib. Penglihatan semalam hanyalah halusinasi belaka. Itu bukan apa-apa. Hanya godaan dan tipuan fana, bagaikan pengalaman Santo Bonaventura yang pernah tergoda oleh perlakuan Iblis jahat.

Tiba-tiba, ia merasa ada seseorang menepuk pundaknya. Pastor Wisnu berbalik, dan melihat bayangan sosok lelaki tua dengan ikat kepala, mengenakan gelang dan kalung manik-manik melingkar di lehernya.

“Bapak siapa? Datang dari mana?” tanya si Pastor.

“Saya? Tidak penting untuk tahu siapa saya. Mari kita duduk-duduk sambil mengobrol di bangku itu.” Ia menunjuk bangku di salah satu sudut taman, si Pastor mengikutinya.

Pastor Wisnu membuat tanda salib, namun Lelaki Tua itu tidak menunjukkan rasa gentar dan takut. Kemudian ia berkata pelan, “Saya ini bukan Iblismu, Pastor. Lihat gelang dan kalung mutiara saya ini. Ia tidak akan terlihat indah dan cemerlang kalau pernah dibakar di neraka kalian.”

Pastor Wisnu menggeser duduknya, kemudian Lelaki Tua itu bertanya, “Benarkah Anda datang ke perbatasan Baduy ini untuk menyebarkan ajaran Tuhan Anda?”

Si Pastor tidak menjawab. Tatapan matanya menunjukkan kewaspadaan, tetapi Lelaki Tua itu justru menenangkan, “Pastor, kami tidak masalah dengan ajaran yang disebarkan di sini, dari manapun, hanya saja saya pribadi merasa sangsi, bahwa ajaran Anda seperti yang lain-lainnya tidak akan berhasil meyakinkan para penduduk Baduy di wilayah ini.”

“Tuhan kami berkuasa memberi petunjuk bagi umat-Nya,” sela si Pastor.

“Saya mengerti pada misi yang kalian emban,” ujar si Lelaki Tua, “tapi perhatikan apa yang perlu saya sampaikan, bahwa Tuhan Anda bukanlah satu-satunya Tuhan yang pernah dibawa ke wilayah Baduy ini.”

Si Pastor mereka-reka arah pembicaraannya. Tetapi, ia membiarkan Lelaki Tua itu melanjutkan perkataannya, “Tidak sedikit ajaran-ajaran agama disebarkan di wilayah kami, baik Islam yang dibawa tentara Cirebon, Kristen yang diajarkan pihak Belanda, Kong Hu Cu dari daratan Cina, hingga pendudukan Jepang setelah Indonesia merdeka, semuanya datang ke sini. Tetapi pada akhirnya, masyarakat Baduy tetap menjadi dirinya sendiri. Apakah pernah masyarakat Baduy menjadi penganut setia dari ajaran yang dibawa pihak Belanda, Jepang bahkan Islam yang dibawa oleh tentara-tentara Cirebon? Tidak! Mereka tetap berpegang pada ajaran-ajaran dari roh leluhurnya. Mereka percaya, bahkan yakin bahwa Gusti Numahakawasa, Tuhan kami di sini akan selalu mengasihi warga kami, serta tidak pernah berlaku curang kepada para pemujanya. Tuhan kami bukan tuhan yang serakah, bukan perusak tanah dan hutan, tetapi Tuhan penjaga lingkungan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih.”

Pastor Wisnu tak bisa lagi berpikir, hanya menatap ke arah Si Lelaki Tua. Abai terhadap sejarah kehidupan orang Baduy, si Pastor menghela napas panjang, meraba-raba arah pembicaraan Lelaki Tua itu, “Jadi, setiap tahun saat upacara Seba, ribuan warga kami datang ke kantor gubernur dan bupati di provinsi Banten. Kami menasihati mereka agar jangan merusak hutan dan pegunungan. Kami memberi wejangan agar mereka jangan lengah dan serakah. Sebab keburukan yang mereka perbuat kelak akan membuahkan hasil keburukan pula. Itulah yang menyebabkan orang-orang politik dan birokrat itu dipenjarakan karena kasus-kasus korupsi dan pencurian, yang semuanya bersumber dari perusakan alam dan lingkungan. Leluhur kami mengajarkan bahwa kesalahan itu bukanlah perbuatan Gusti Numahakawasa, tetapi oleh sebab perbuatan manusia sendiri yang lengah dan serakah.”

Baca Juga:  Militan pro-Turki Kuasai Damaskus dan Menebar Teror di Suriah

Si Pastor menatap lelaki tua itu dengan mata berkaca-kaca, dan lanjutnya lagi, “Baik ajaran Muhammad, Kong Hu Cu maupun Kristus yang kalian ajarkan, dipersilakan masuk sebagai tamu-tamu kami di sini. Kami akan mengambil hal-hal positif dari ajaran kalian. Tetapi, kami akan menolak ajaran apapun yang bersifat curang, menjajah atau merusak alam dan lingkungan. Kami punya ajaran tersendiri yang setua penciptaan Adam leluhur kami. Bahkan nabinya orang Islam, Kristen maupun Kong Hu Cu, semuanya terlahir di bawah Adam leluhur kami.”

“Bukankah Tuhannya tentara-tentara Cirebon telah diterima oleh masyarakat Pasundan di tanah Jawa Barat ini? Buktinya saya membaca tokoh-tokoh Islam dalam buku Perasaan Orang Banten?”

“Mereka memang mengenakan baju Islam, tapi coba perhatikan sebagian besar dari perilaku dan karakteristik tokoh-tokoh dalam buku itu! Kebanyakan terjerumus oleh karena perbuatan dan hawa nafsu mereka… oleh karena bisikan-bisikan roh jahat yang menguasai kehidupan mereka, hingga bertindak kasar dan serakah.”

“Tetapi, Tuhan kami mengajarkan cinta-kasih dan perdamaian,” sela si Pastor.

“Ya, Anda bisa berkata begitu, seperti halnya mereka yang membawa misi dari ajarannya masing-masing. Tetapi pada akhirnya, Tuhan dari pihak manapun tidak ada yang sanggup menandingi Gusti Numahakawasa…”

“Buktinya sudah banyak orang-orang suku Baduy yang mengikuti ajaran kami?” tantang si Pastor.

“Tentu saja, beberapa dari mereka mungkin berpindah agama. Tetapi yang saya maksudkan adalah soal kemampuan menyerap dan menyesuaikan diri dengan apa yang datang dari pihak asing. Begitupun di daerah atau negeri lain, biarpun manusia memakai baju Islam, Kristen atau Yahudi, tetapi ketika roh-roh jahat menguasai mereka, akan mudah bagi mereka untuk bertindak kasar dan menghancurkan satu sama lain.”

“Tapi, Tuhan kami harus menang,” ulang Pastor Wisnu seperti memaksa.

 

“Menang dari apa, Pastor? Sebab, masyarakat kami juga punya cara tersendiri untuk mengusir roh-roh jahat di sekeliling kami.”

“Tapi kami akan membawa seluruh warga Baduy ke dalam surga Tuhan.”

“Bukankah para perusak, kaum teroris dan pelaku pengeboman di mana-mana, juga meyakini akan masuk ke dalam surga Tuhan? Termasuk para pejuang di Israel maupun Palestina yang merasa dirinya sebagai martir, mereka juga sama-sama meyakini akan masuk ke dalam surga Tuhan. Lalu, surga macam apa yang mereka jadikan sebagai tujuan? Sebab, masyarakat kami juga memiliki tujuan hidup yang kami yakini.”

Pastor itu diam terpaku, tak bisa berkata-kata lagi. Lelaki Tua itu menepuk-nepuk bahu sang pastor, menenangkannya, kemudian pergi dan menghilang dari pandangan mata.

***

Malam hari, Pastor Wisnu merenungkan kembali apa-apa yang disampaikan lelaki tua dari suku Baduy itu. Baginya, setiap ajaran agama yang disampaikan tidak akan mengena sasaran jika tidak sanggup membawa umatnya pada kebaikan.

Yang menjadi pangkal utama dari setiap ajaran para nabi dan rasul adalah nilai-nilai kebaikan, dan kebaikan itu harus dimulai dari si pengemban risalah itu sendiri. Tidak ada ruh dan kekuatan bagi seorang pastor yang berjubah mentereng, maupun kiai dan ulama yang bersorban mewah, jika ajaran agama itu disampaikan hanya sebatas mulut dan kerongkongan, tanpa disertai sikap dan laku perbuatan yang memberi keteladanan. Sebab, keimanan yang baik tercermin dari tingkah laku dan perbuatan, bukan dari kemegahan aksesoris maupun retorika-retorika politis.

Apa yang disampaikan lelaki tua itu memberikan pelajaran berharga bagi Pastor Wisnu, bahwa nilai-nilai kebaikan yang ada dalam hati nurani, harus selaras dan mengejawantah dalam perkataan dan perbuatan sekaligus. (*)

 *Cerpen ini ditulis berdasarkan penelitian ilmiah dalam program historical memory Indonesia di wilayah Baduy, Banten Selatan.
Penulis: Irawaty Nusa adalah cerpenis sekaligus peneliti historical memory Indonesia, aktif menulis cerpen dan artikel sastra di berbagai media massa dan media online, di antaranya Kabar Madura, Kabar Banten, Tangsel Pos, Satelit News, nusantaranews.co, klipingsastra.com, kawaca.com, simalaba.net, Jurnal Toddoppuli, Ahmad Tohari’s Web dan lain-lain.

Related Posts

1 of 3,050