Panggung Demokrasi
Tak ada yang berubah dariku
Yang berubah hanya kehancuran moral menjelma korupsi yang terus ditontonkan
Kebebasan politik tak ubahnya miras oplosan di meja gedung kekuasaan
Lagu-lagu kebangsaan terdengar seperti musik disco di club-club malam
Oh, suara penguasa panggung demokrasi
Suara janji-janji biduan hiburan sesaat
Goyang striptis ditontonkan menari kebebasan
Bagi penguasa adalah kemenangan menjatuhkan lawan
Kebobrokan
Kehancuran
Mental bangsaku terus menjelma permata, uang, seks, narkoba, dan importir kepentingan
Aku tahu Tuhan punya rencana gila di balik sampah-sampah penguasa jelata di atas tubuh rakyat yang baikai
Meski rakyat sudah menjadi domba-domba liar sambil menghamba tuan-tuan
Namun tak akan ada lagi persekongkolan seperti tuan-tuan lakukan dengan penguasa budak yang mencoba menyaingi tuannya
Jakarta, September 2016
Ritual Kekuasaan
Tuan-tuan selalu tampil hebat
Gagah berwibawa sebagai pejuang kepentingan sang ibu dan majikan di negeri seberang
Aku orang di balik istana menyaksikan tuan-tuan menabur kembang dan kemenyan
Rapat-rapat kenegaraan tuan-tuan isi dengan ritual kesaktian;
Ritual pemanggil ruh pemuja kekuasaan
Ritual pemanggil sukma membuang sial
Bau kemenyan bercampur syahwat liar
Kembang tujuh rupa bertebar ke seluruh ruangan
Tuan-tuan pemuja tubuh beraroma perawan
Kursi-kursi percaturan anggaran berserak ke pojok kamar
Istana berubah sebentuk hikayat persekongkolan semerbak bunga mawar
Seorang nenek tua pemandu ritual disangka gadis jelmaan Roro Kidul pengendali tahta
Birahi kekuasaan tuan-tuan seketika membuncah menabuh genderang
Hingga jiwa-jiwa lenyap dalam aroma setubuh ruh
Aku tak menyaksikan tuan-tuan memuja Tuhan
Sebab Tuhan adalah tuan dalam jelmaan
Ritual kekuasaan serentak berkumandang di gereja, masjid, klenteng bahkan di kantor serupa
Berharap tubuh lebur merasuk sukma;
Sukma penyelamat harta dan tahta
Sukma penyelamat dari gempuran kedatangan pasukan singa
Jakarta, September 2016
Satria Sejagat
Aku kembali dari masa lalu
Datang dengan senyum belaian angin
Masa lalu adalah mitos kebesaranku dari pertapaan keabadian
Doaku merah mewarnai putih bendera
mengekal dalam-dalam di dada
Kini mahkota di kepalaku singa
Gagah perkasa memburu binatang-binatang liar di hutan belantara negeri
Akulah satria sejagat itu
Kedatanganku adalah hujan menderu badai
Kedatanganku adalah sorak sorai mewarnai kegembiraan bocah-bocah bermain di halaman rumah tanpa penghuni
Bunyi petir disangka lagu kemerdekaan bertepuk kegembiraan para petani dan nelayan
Aku ikut bernyanyi dengan melantunkan lagu dan puisi tentang bangsa dan tanah air negeriku
Aku kembali dari masa lalu saat negeriku musim gemuruh;
Gemuruh teka teki perselingkuhan para pejabat negeri
Mulut-mulut berucap saling membela diri
Perselisihan dibiarkan untuk saling mencuri
Pejabat negeriku semakin tak tahu diri
Jakarta, September 2016
*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa (Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.