Pancasila Adalah Hadiah Terindah Kaum Muslimin Untuk Indonesia

Umat Muslim Indonesia (Ilustrasi Nusantaranews)
Umat Muslim Indonesia (Ilustrasi Nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Harus diakui bahwa para pendahulu bangsa Indonesia memiliki jiwa lebih besar. Dalam koridor sejarah bangsa Indonesia, seharusnya dasar negara Indonesia adalah Islam. Karena saat itu, Indonesia mayoritas beragama Islam.

Namun, berkat kebesaran hati para kaum muslimin, mereka legowo bahwa pasal 6 dalam Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi bahwa calon presiden harus penduduk asli Indonesia dan beragama Islam dihapus (lihat RM.A.B.Kusuma: Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945). Kaum muslimin asli Indonesia benar benar memiliki keluasan hati dan menjunjung tinggi kebinekaan.

Itulah mengapa, Kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 serta lahirnya Pancasila merupakan hadiah terindah dari kaum muslimin kepada jutaan penduduk Indonesia yang notabene tidak semua muslim.

Bagaimanapun, pencoretan bunyi butir “Calon Presiden Indonesia harus orang Indonesia asli dan beragama Islam” tidak akan terjadi, jika para kaum muslimin tak memiliki kecintaan dan kelapangan hati yang luas terhadap Indonesia.

Mereka tahu dan sadar bahwa penduduk non muslim di Indonesia kala itu jumlahnya tidak lebih dari 13 persen.  Artinya apa? Sangat syah bila mereka memilih Islam sebagai dasar negara. Namun hal itu tidak dilakukan. Ini menunjukkan bahwa diktator mayoritas di Indonesia tidak ada.

Hadiah terindah lainnya dari kaum muslimin untuk bangsa Indonesia adalah ketika Piagam Jakarta disahkan sebagai pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana dikutip dari Detik.com, hal itu disebutnya sebagai bentuk penghormatan pertama kelompok pribumi-Islam untuk merawat dan merajut Indonesia yang berbhinneka.

Denny menjelaskan, penghormatan besar kaum muslimin terhadap bangsa Indonesia adalah ketika para pendiri bangsa kita pada tanggal 18 Agustus 1945 menyetujui draft UUD 1945 yang disiapkan BPUPKI. Pada moment inilah keleluasaan kaum muslimin Indonesia layak mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya.

Baca Juga:
Sesat Pikir Kebhinekaan, Saat Gejala Tirani Minoritas Menguat
Umat Islam Terlalu Banyak Memberi, Tapi Terlalu Sedikit Menerima
Dari Islam Hatta (Hingga) Pancasila

Dimana Piagam Jakarta disahkan sebagai pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan mengubah judulnya, dari ‘Mukaddimah’, sebuah kata dalam bahasa Arab, menjadi ‘Pembukaan’. Kemudian tujuh kata yang berkaitan dengan Syariah Islam dihilangkan dari Pembukaan dan Pasal 29 ayat (1). Selanjutnya syarat bahwa calon presiden harus orang Indonesia asli beragama Islam dihapus dan diganti ‘calon presiden Indonesia harus orang Indonesia asli’. Namun pasca pasca reformasi kata ‘orang Indonesi asli’ kemudian juga dihapus.

Mengenai syarat “Presiden Indonesia Harus Orang Asli Indonesia Yang Beragama Islam” diantaranya disampaikan salah satu anggota BPUPK yakni Wachid Hasyim dan Pratalykrama. Dikutip dari RM.A.B.Kusuma mejelaskan bahwa Wachid Hasyim mengatakan “Buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu diusulkan pasal 4 ayat (2) ditambah dengan kata-kata ‘yang beragama Islam’. Jika presiden orang Islam, perintah-perintah, berbau Islam dan akan besar pengaruhnya.’

Sementara menurut Pratalykrama yang juga merupakan anggota BPUPK mengatakan pada 15 Juli 1945 mengusulkan agar kepala negara atau Presiden Republik Indonesia hendaknya orang Indonesia yang aseli, berumur sedikit-dikitnya 40 tahun dan beragama Islam.

Berdasarkan hasil rapat Rancangan Undang-Undang Dasar yang diusulkan Panitia Kecil Penyusun UUD yang diketuai Supomo pada 10 Juli – 17 Juli 1945 memutuskan dan mensepakati bahwa “Presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam”.

Namun saat pengesahan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, klausul “yang beragama Islam” dicoret atas usul Hatta dengan alasan agak menyinggung perasaan anggota BPUPK lain yang berasal peranakan seperti Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei mewakili peranakan Tionghoa; kemudian AR Baswedan yang mewakili peranakan Arab; dan Dahler yang mewakili peranakan Eropa.

Selain itu, Hatta juga mengaku tak cukup khawatir dengan pencoretan klausul “yang beragama Islam”, karena ia menilai 95% lebih penduduk Indonesia adalah Islam. Bersama dengan penghilangan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam Pasal 29 ayat (1).

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara UI Dr Hamid Chalid (30/6/2015) mengatakan, Pancasila dan UUD 1945 merupakan kontrak sosial seluruh bangsa Indonesia. Tak terkecuali umat Islam yang menjadi warga mayoritas Indonesia. Namun, umat Islam tidak memaksakan kemauannya dalam penyusunan UUD. Mereka mau mengalah, karena kesadaran mempertahankan Indonesia. “Tidak salah bila dikatakan Pancasila yang terdapat dalam UUD 1945 sebagai hadiah terbesar umat Islam bagi bangsanya,” tegas Hamid Chalid.

Editor: Romadhon

Exit mobile version