NATO Mulai Membahas Strategi Hadapi Rusia

nato, crimea, rusia, tentara nato, tentara rusia, ukraina, semenanjung crimea, eropa timur, konflik ukraina, konflik crimea, aneksasi crimea,
Pasukan NATO. (Foto: Express/Getty)

NUSANTARANEWS.CO, Washington – Pada Juli 2018 NATO akan menggelar konferensi tingkat (KTT) tinggi yang dihadiri seluruh menteri luar negeri organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara tersebut di Brussels guna membahas strategi menghadapi Rusia.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengungkapkan bahwa salah satu materi yang akan dibahas dalam KTT tersebut ialah soal aneksasi Crimea oleh Rusia. NATO menuduh Rusia telah membuat gangguan di Ukraina (Crimea), Georgia dengan melakukan tindakan militer, serangan siber, dan kampanye disinformasi menyangkut langkah politik NATO di Eropa Timur yang membuat pasukan aliansi Eropa mengirimkan pasukan besar-besaran ke kawasan tersebut dalam rangka menghadang agresifitas Rusia.

Seperti diketahui, pasukan NATO dan Rusia sama-sama agresif di kawasan Laut Hitam dengan mengirimkan dan menempatkan alutsista besar-besaran sebagai persiapan menghadapi segala kemungkinan agresi militer. Terbaru, Januari 2018 Angkatan Laut AS (NATO) mengirimkan kapal perusak USS Carney ke Laut Hitam setelah singgah sebentar di Odessa, Ukraina. Odessa berjarak sekitar 200 kilometer dari Crimea dan sekira 300 kilometer dari Sevatopol, markas besar Armada Laut Hitam Rusia (Russia Black Sea Fleet).

BACA ARTIKEL TERKAIT:

Rusia tak mau kalah. Batalyon kedua sistem rudal pertahanan udara S-400 Triumf dikerahkan untuk tugas tempur di barat daya Rusia, tepatnya di Semenanjung Crimea dekat kota Sevastopol. Pengerahan rudal pertahanan udara canggih milik Rusia ini ditempatkan di wilayah Krasnodar untuk memperkuat peralatan tempur pasukan yang sebelumnya telah ditempatkan guna menjaga stabilitas keamanan di Crimea. Tahun 2017 Rusia juga sudah lebih dulu mengerahkan batalyon pertama S-400 untuk ditempatkan di dekat kota pelabuhan Feodosiya.

S-400 yang dikenal NATO dengan sebutan SA-21 merupakan sistem rudal permukaan ke udara milik Rusia yang sangat canggih. S-400 disebut-sebut mampu menempuh jarak 400 kilometer atau 248 mil serta mampu melacak dan menghancurkan semua target di udara.

Tentara Rusia yang ditempatkan di Semenanjung Crimea. (Foto: Military News)

“Rusia juga mendukung rezim Suriah yang telah berulang kali menggunakan senjata kimia, dan tak menutup kemungkinan Rusia berada di balik serangan zat kimia terhadap seorang agen di Salisbury. NATO bersikap menghadapi ini dengan tekad dan persatuan,” ujar Stoltenberg dalam keterangannya, Jumat (27/4/2018).

Stoltenberg menambahkan anggota aliansi (NATO) telah mengerahkan kekuatan pertahanan kolektif terbesar sejak akhir Perang Dingin. Unit-unit aliansi secara rutin beroperasi di republik-republik Baltik, Polandia, Rumania dan Hongaria. Tak hanya itu, kata dia, NATO juga telah meningkatkan pertahanan siber sebagai upaya untuk melawan kegiatan hibrida Rusia.

Lebih lanjut Stoltenberg mengungkapkan bahwa negara-negara yang tergabung dalam NATO telah berinvestasi sangat besar untuk pertahanan dan keamanan. Bahkan, negara-negara anggota NATO telah menghabiskan setidaknya 2 persen dari PDB mereka untuk investasi pertahanan tersebut.

“Sehingga kami terus berupaya mencegah gangguan terhadap negara-negara sekutu. Jadi, kita harus terus beradaptasi dengan tantangan (perang) hibrida dan para menteri akan terus mengontrol untuk memastikan pekerjaannya,” kata Stoltenberg.

Sekadar informasi, Ukraina sudah sejak lama berupaya masuk sebagai anggota NATO. Usaha ini bahkan telah dilakukan sejak pemerintahan Presiden Viktor Yuschenko dalam rentang waktu 2005-2010 silam. Selama itu pula, bahkan hingga kini, Rusia berupaya mencegah Ukraina menjadi anggota aliansi Eropa tersebut dan berusaha menjaga Ukraina agar tetap netral. Namun, Ukraina masih merasa terpukul Crimea akhirnya jatuh ke tangan Rusia yang menyebutnya sebagai tindakan pencaplokan atau aneksasi. Kondisi ini terus menjadi pembicaraan NATO karena mereka juga diketahui menolak Crimea jatuh ke tangan Rusia. (red)

Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version