Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
NUSANTARANEWS.CO – Lagi-lagi kinerja pembantu Presiden Joko Widodo di bidang ekonomi dan industri semakin memprihatinkan dan memperburuk kondisi keuangan negara dan ekonomi makro nasional. Salah satunya ditunjukkan oleh realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan elpiji yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2018 telah mencapai Rp 54,3 Triliun hingga akhir September 2018 lalu. Realisasi subsidi BBM tersebut telah melampaui pagu APBN Tahun Anggaran (TA) 2018 hingga 115,9, atau telah melebihi rencana alokasi sebesar 15,9 persen.
Belum terdapat angka yang pasti dan dipublikasikan oleh otoritas bidang ekonomi dan industri Kabinet Kerja I, berapa jumlah realisasi subsidi BBM sampai akhir Desember 2018. Jika diambil rata-rata per bulan persentase realisasi subsidi BBM hingga September 2018 tersebut, maka rata-rata realisasi subsidi BBM adalah Rp 6,03 Triliun per bulan. Mengacu pada angka rata-rata per bulan itu, berarti realisasi subsidi BBM 3 bulan terakhir adalah sejumlah Rp 18,09 Triliun, dan sampai akhir Desember 2018 total realisasinya bisa mencapai Rp 72,39 Triliun lebih.
Logika APBN Untuk Subsidi
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, menyampaikan bahwa, besaran subsidi yang dianggarkan dalam APBN 2018 untuk BBM dan elpiji adalah Rp 46,9 triliun. Realisasi subsidi BBM dan elpiji per September 2018 mencapai Rp 54,3 triliun atau lebih besar 96,7 persen dari realisasi periode sama tahun lalu (TA 2017) yaitu hanya Rp 27,6 triliun.
Askolani memberikan alasan, kenaikan realisasi subsidi disebabkan oleh pelunasan sebagian tunggakan sebesar Rp 12 Triliun yang merupakan tunggakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), saat memberi keterangan di Gedung DPR RI pada Hari Rabu tanggal 17 Oktober 2018. Lebih lanjut, Askolani memaklumi bahwa, realisasi subsidi BBM dan LPG memang dimungkinkan melebihi pagu APBN. Hal tersebut lantaran basis yang ditentukan untuk subsidi sangat dipengaruhi asumsi makro ekonomi.
Pernyataan Askolani itu jelas mengada-ada, apalagi dengan menyampaikan bahwa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait kenaikan subsidi BBM dan LPG dengan beralasan pemerintah telah menempatkan cadangan pelunasan kewajiban subsidi pada pos belanja lain-lain.
Justru kelebihan alokasi subsidi BBM antara pagu dan realisasi itu yang patut dipertanyakan sebagai akibat tidak profesionalnya dan lemahnya kinerja pengendalian otoritas bidang ekonomi dan industri pemerintahan, apalagi kekurangan itu diambil dari pos cadangan, termasuk untuk pembayaran tunggakan. Atas masalah ini, kinerja Kementerian Keuangan dalam melakukan perencanaan anggaran negara tidak komprehensif, matang dan berbasiskan pada data dan sumber data yang baik, lengkap dan terkini (up date).
Dalam setiap mengalokasikan anggaran untuk suatu program dan kegiatan prinsipnya adalah apa sasaran dan tujuannya dan siapa kelompok sasaranmya. Tentu saja sumber data menjadi penting untuk memahami latar belakang besaran alokasi anggaran untuk program dan kegiatan tertentu. Dengan data yang terkini (up date), valid dan kredibel (reliable dan valuable), maka akan diperolah jumlah alokasi anggaran optimal.
Prinsip ini semestinya juga berlaku bagi kebijakan subsidi BBM yang dialokasikan untuk kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu, soal data dan sumber data menjadi faktor yang sangat penting dan relevan sebelum menetapkan keputusan besaran alokasi anggaran subsidinya. Termasuk dalam hal ini adalah besaran alokasi subsidi BBM jenis solar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2020 sejumlah Rp 1.000 per liter.
Sebagai contoh lain, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar pada Tahun 2020. Pemerintah bermaksud memangkas subsidi BBM solar menjadi maksimal Rp 1.000 per liter. Harga BBM jenis solar memang sejak bulan April 2016 hingga saat ini belum pernah disesuaikan, yaitu masih di harga Rp 5.150 per liter. Sementara harga minyak mentah dunia untuk Indonesia (ICP) terus mengalami fluktuasi. Pada bulan Juni 2019, harga ICP mencapai US$ 61 per barel, turun 10,42% dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 68,1 per barel.
Konsekuensi dari pemangkasan alokasi anggaran subsidi pada Tahun 2020 berpotensi membuat harga BBM solar mengikuti harga keekonomiannya, dampaknya harga bisa turun atau naik. Sementara itu, penyaluran subsidi BBM 2019 diperkirakan mencapai Rp 33,83 Triliun, yang berarti 0,8% lebih besar dibandingkan pagu APBN yang sebesar Rp 33,55 Triliun. Realisasi subsidi BBM jenis solar hingga bulan Mei 2019 telah mencapai Rp 12,23 Triliun, yang berarti masih terdapat sisa alokasi subsidi sejumlah Rp 21,60 Triliun dari sasaran (target) realisasi atau Rp 21,32 Triliun dari pagu anggaran.
Kelompok Sasaran Subsidi
Berdasarkan data alokasi Rp 1.000 per liter dalam RAPBN dan dengan harga BBM jenis solar Rp. 5.150 per liter, berarti kelompok masyarakat konsumen yang memperoleh subsidi ini yang seharusnya membayar Rp 6.150, hanya membayar Rp 5.150 per liter. Namun, pertanyaannya adalah apakah konsumen yang menikmati harga BBM subsidi jenis solar ini adalah memang kelompok masyarakat yang layak memperolehnya? Atau alokasi anggaran subsidi BBM jenis solar (dan premium) lebih banyak dinikmati oleh kelompok yang tidak layak untuk memperoleh harga subsidi (bukan kelompok masyarakat miskin) atau tidak tepat sasaran?
Mengacu pada angka realisasi subsidi BBM jenis solar yang sebesar Rp 33,83 Triliun itu, maka jumlah liter solar yang dialokasikan untuk konsumen yang menikmati subsidi dalam setiap harga subsidi itu adalah 0,194 liter. Lalu, apakah harga Rp 5.150 per liter yang diterima oleh Pertamina sebagai BUMN yang ditugaskan menyalurkan subsidi BBM jenis solar sebagai sebuah kewajiban atau Public Service Obligation (PSO) berdasar perintah konstitusi dalam pasal 66 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini telah memperoleh harga yang wajar dari pemerintah? Sebab, alokasi BBM jenis solar yang dikeluarkan oleh Pertamina untuk subsidi TA 2019 mencapai 6,9 juta kilo liter lebih. Kalau tidak wajar dan pemerintah juga masih berpiutang atas alokasi subsidi BBM tersebut kepada BUMN Pertamina, lalu bagaimana mungkin beban BUMN dalam mengatasi defisit minyak dan gas melalui pengembangan bisnisnya bisa teratasi?
Penyelidikan dan penetapan secara pasti (definitif-alokatif) atas kelompok sasaran (penikmat) subsidi BBM solar dan premium berdasar Rumah Tangga Miskin (RTM)menjadi kunci ketepatan perencanaan. Dan, tentu saja hal ini untuk menghindari jangan sampai terjadi moral hazard dalam alokasi BBM subsidi, termasuk mencegah jangan sampai terjadi rekayasa penyusunan laporan keuangan pada korporasi swasta dan apalagi BUMN melalui pengakuan alokasi harga subsidi yang diterima sebagai bagian dari pengakuan laba perusahaan yang dicatatkan. Sebab, pengakuan laba dari alokasi subsidi BBM ini jelas melanggar prinsip akuntansi yang ditentukan oleh PSAI. Termasuk bagi BUMN yang ditugaskan sebagai penyalur BBM subsidi melakukan pencatatan yang tidak bisa diperhitungkan (accountable) atas piutang yang belum dibayarkan oleh Pemerintah atas alokasi anggaran subsidi yang dibebankan, dalam hal ini Menteri Keuangan.
Melalui prinsip alokasi berdasar kelompok sasaran (RTM) dan pertimbangan harga yang wajar (berdasar Harga Pokok Produksi/Penjualan) itulah seharusnya alokasi subsidi ditetapkan. Sehingga alokasi subsidi BBM jenis solar maupun premium tidak ditetapkan terlalu jauh selisihnya dari realisasinya, dan pemerintah mampu membayarnya ke Pertamina dengan angka yang valid. Selama ini, realisasi BBM subsidi jenis solar dan premium tak dapat dikendalikan (uncontrolable) dengan baik kelompok pemanfaatnya, sehingga subsidi lebih banyak tidak tepat sasaran karena dilakukan secara terbuka.
Agar alokasi subsidi BBM ini dapat direncanakan dengan baik dan tepat sasaran, maka data dan pemetaan kelompok masyarakat sasaran (targetted) sebagai konsumennya harus sudah tersedia, sehingga penyalurannya dapat memperkecil penyimpangan dari kelompok sasaran.[]