Menghapus Materi Perang dari Sejarah Islam Absurd dan Ahistoris

materi perang, sejarah islam, absurd, ahistoris, nusantara news
Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). (Foto: Ilustrasi/Hidayatullah)

Menghapus Materi Perang dari Sejarah Islam Absurd dan Ahistoris. Di tahun 2020 nanti, Kemenag RI bermaksud untuk menghapus materi perang dalam buku ajar SKI (Sejarah Kebudayaan Islam), dimulai dari jenjang Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah. Menurutnya, penghapusan materi perang tersebut, agar Islam tidak diidentikkan sebagai agama kekerasan. Di samping itu, untuk mengajarkan toleransi dengan pemeluk agama lainnya, khususnya anak didik.

Langkah Kemenag ini hanya memberikan gambaran bahwa lembaga ini sudah terpapar sikap defensif apologetik. Sebuah sikap mempertahankan diri, tidak ingin jadi tertuduh, dengan menerima pola pikir si penuduh. Tentunya, sikap demikian adalah sikap bunuh diri politik dan pemikiran yang fatal. Demi terbebas dari berbagai tuduhan, justru langkah yang diambil yakni dengan menghapus materi perang dari buku sejarah Islam tentunya merupakan langkah yang absurd dan ahistoris, kalau tidak boleh dibilang konyol.

Sekarang mari kita mencermati dua alasan utama dari rencana Kemenag tersebut, yakni alasan toleransi dan agar Islam tidak didentikkan dengan kekerasan, yakni perang.

Pertama, tentang toleransi. Secara teknis bisa diukur dari saling menghormati, dan mau saling bekerja sama dalam perbedaan, khususnya dengan pemeluk agama lain.

Secara normatif, Islam menekankan adanya toleransi dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Dengan begitu akan bisa terjalin kerukunan hidup. Berikut ini toleransi Islam dalam hal beragama. “Tdak ada pemaksaan dalam hal memeluk agama (Islam).”

Islam mengakui adanya perbedaan manusia mengenai keyakinan dan agama apa yang dipeluknya. Akan tetapi, bukan berarti Islam melarang umatnya untuk saling bekerja sama dengan pemeluk agama lain di masyarakat.

Saling bekerja sama dalam kerja bakti, dan ha hal umum tentunya sangat dianjurkan, sebagai bentuk kemanfaatan yang menjadi wujud sebaik–baiknya manusia. Bahkan Rasul SAW menegaskan bahwa siapa saja yang menyakiti kafir dzimmi (yang hidup damai dengan muslimin), maka ia telah menyakiti Rasul SAW.

Walaupun begitu, toleransi yang diwujudkan tidak kebablasan, seperti melakukan sinkretisme, yakni mencampuradukkan semua ajaran agama.

Secara fakta empirisnya, bahwa umat Islam tidak pernah melakukan diskriminasi kepada pemeluk agama lain, apalagi membantai mereka. Justru yang terjadi adalah, di saat kaum muslimin berjumlah minoritas, seringkali menjadi korban diskriminasi dan pembantaian.

Pembantaian 8000 muslim Bosnia oleh pasukan pemerintah, yang hanya menghabiskan waktu 5 hari saja. Nasib yang tidak kalah tragis adalah muslim di Afrika Tengah. Mereka harus menghadapi dua pilihan yakni murtad atau mati. Begitu pula kekejaman terhadap minoritas muslim Uighur oleh pemerintah Komunis China. Pembantaian terhadap muslim Rohingya di Burma, dan masih banyak yang lainnya.

Beginikah, apa yang mereka gaung–gaungkan tentang toleransi? Janganlah mengajari kaum muslimin tentang toleransi. Seharusnya mereka yang harus belajar tentang toleransi dari kaum muslimin.

Sungguh, kaum muslimin dengan peradabannya, yang terwujud dalam kekhilafahan mampu menaungi kemajemukan masyarakat manusia dalam skala wilayah yang sangat luasnya. Bahkan bisa bertahan selama sekitar 1300 tahun, sebelum akhirnya berhasil diruntuhkan melalui kerja sama licik antara Inggris dan pengkhianat, si Kemal Attaturk.

Kedua, tentang alasan Islam yang diidentikkan dengan perang dan kekerasan. Sesungguhnya negara–negara penjajah sangat takut dengan semangat dan laju jihad dari kaum muslimin. Kekaisaran China waktu itu yakni di abad 18, sempat dibuat gentar oleh pasukan kaum muslimin di bawah komando dari Muhammad bin al–Qasim. Oleh karena itu, yang merasa senang dengan penghapusan materi perang dari sejarah Islam adalah negara–negara penjajah, termasuk di dalamnya adalah AS dan China.

Berbicara ajaran jihad, tentunya harus merujuk sumber–sumber otoritatif yakni Al Qur’an, Hadits, dan pandangan ulama muktabar. Tidak bisa memaknai jihad atas dasar otak dan kepentingannya sendiri, apalagi pesanan dari orang dan bangsa kafir.

Secara bahasa, jihad bermakna bersungguh–sungguh. Selanjutnya, Islam merubah maknanya menjadi bersungguh–sungguh dalam perang di jalan Allah demi meninggikan kalimat Allah. Artinya jihad itu adalah perang. Di dalam ushul, makna secara syar’ie itu lebih kuat daripada makna bahasanya. DR Muhammad Khoit Haekal di dalam disertasinya tentang jihad dan perang menyebutkan bahwa makna jihad sebagai perang sebanayak 41 kali di dalam al Qur’an.

Di dalam kitab Al Mabsuth, karya Al Imam Al Sarakhsyi, dijelaskan tentang jihad dengan redaksi berikut ini. “Tatkala seluruh kaum muslimin meninggalkan jihad sehingga orang–orang kafir itu bisa menguasai sebagian wilayah Islam, tentunya seluruh kaum muslimin berserikat dalam berbuat dosa dalam hal demikian.”

Justru dengan ajaran jihad inilah, kaum muslimin menjadi mulia, tidak diremehkan oleh bangsa kafir. Dengan jihad ini, kaum muslimin membebaskan manusia dari penindasan sesama manusia menuju keadilan hukum Islam.

Sebagai gambaran agungnya perang dalam Islam, adalah Sultan Muhammad al Fatih, setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel, beliau segera membangun struktur sosial yang kuat dan kemajuan insfrastruktur di sana.

Beliau mampu meleburkan kaum muslimin yang pendatang dengan penduduk asli Konstantinopel. Begitu pula, Konstantinopel secara cepat bertransformasi menjadi ibukota baru bagi Khilafah Utsmaniyy. Tentunya langkah demikian mampu menumbuhkan kecintaan kepada Islam dan umatnya. Hal demikian tentunya berbeda dengan semua peperangan yang dilancarkan oleh negara–negara penjajah. Ya, eksploitasi negeri jajahan menjadi metode baku dalam setiap peperangan yang dilakukannya.

BahkanRasulullah SAW sendiri terhitung mengutus pasukan perang sebanyak 62 kali, dan yang 27 kali dipimpin langsung oleh beliau SAW. Hal ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab Ghozwatul Rasul wa Saraya. Di antara perang yang dipimpin langsung Rasul SAW adalah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khondak dan Perang Tabuk.

Pertanyaannya, apakah dengan memimpin perang tersebut, lantas Rasul SAW disebut tidak toleran dan melakukan kejahatan? Lancang sekali tuduhan tersebut kepada Rasulullah SAW.

Apakah kita akan menutup mata bahwa kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman negara penjajah seperti Belanda maupun Inggris itu diraih dengan pengorbanan air mata dan gugurnya para pejuang di medan perang?

Sungguh bangsa Indonesia mampu mengusir sekutu di tahun 1945 dalam rangka mempertahankan kemerdekaannya melalui Resolusi Jihad, yang dicetuskan oleh Hadhrotusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Bung Tomo sendiri mengakui bahwa hanya dengan kalimat takbir, yang mampu mengobarkan semangat jihad arek–arek Surabaya waktu itu, demi untuk menjawab resolusi jihad tersbut.

Walhasil, adanya materi perang dalam buku SKI, itu merupakan fakta yang terjadi dan tidak bisa dilepas dari keberadaan umat Islam yang memang mendapat tugas guna mengemban kewajiban mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Ruh jihad untuk meninggikan kalimat Allah akan menjadi pemantik semangat umat Islam untuk membebaskan dirinya dari belenggu penjajahan dalam segala bentuknya, baik fisik maupun non fisik.

Penulis: Ainul Mizan, guru tinggal di Malang

 

Catatan Redaksi: Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis seperti yang tertera, dan tidak menjadi bagian dari tanggung jawab serta isinya tidak mewakili gagasan redaksi nusantaranews.co

Exit mobile version