Mengenang Kriapur dan Celana Warisan untuk Joko Pinurbo – Puisi Astrajingga Asmasubrata

Ilustrasi: Lukisan Street Quartet, 1990, by Paul Keene, via michenerartmuseum

Ilustrasi: Lukisan Street Quartet, 1990, by Paul Keene, via michenerartmuseum

Mengenang Kriapur

Langit begitu lengang dalam pandangan. Genang
Hujan di badan jalan memantulkan pendar bulan
Sepi berjatuhan saat aku mulai sadar bahwa malam
Bukan melulu gelap, ada yang tak mungkin lenyap
Saat aku mengenang kriapur di tepian musim hujan

Sajak melolong di antara raung klakson, deru maut
Dalam sorot lampu kendaraan. Entah mengapa aku
Seperti dikepung oleh kemuraman yang datang dari
Kata-kata. Waktu berlalu meninggalkan jejak gelisah
Mengelupas saat aku menafsir kedukaan yang kalis

Pondok Bambu, 2016

Romantic Agony: Jengki

aku melihat “ia” terkapar
di pintu sebuah bar
tak muntah tak berdarah
rembulan mengusap wajahnya
dengan selembar sajak
tak berjudul tak bertitimangsa
kala mulutnya terbuka
semua permisalan yang kupunya
lindap ke dalam batin bahasa

aku ingin memapah “ia”
namun tanganku hampa
sebab tak satu pun sajak
tercipta darinya
apa mukjizat seorang Penyair
selain hasrat dan riwayat?
katakatakata
menemu kebuntuan jawab
sunyi memberat di punggung

mataku tak berkesip pada sebotol rum
berdiri tegak bagai jarum akupuntur
yang mengobati kudus luka
romantic agony: Jengki
tibatiba darahku berdesir
sajak mengalir di ujung jari jemari
menyaru lunturan mimpi
“Ia” bangkit lalu menari…berlari
aku beringsut ngejar bayang sendiri

Pondok Bambu, 2016

Sajak Untuk Rukmi

Rukmi, sebelum kristal-kristal karbondioksida
Mengguyur taman kecil di beranda khayal
Wajahmu sudah bermekaran di jantungku
Kala malam membenamkan kegelapan keruh
Puisimu menyaru kolam memantulkan bulan
Betapa teduh segala kepedihan dihunjam waktu

Rukmi, kuperam kata-kata sedekade lamanya
Dan sunyi di dalamnya malih menjadi lelatu
Membakar belukar rindu yang tumbuh liar
Aku ini peragu dengan wajah sekuyu bulan
Kelu lidahku ingin mengaku: tak cukup kata
Tak cukup waktu, senyummu merobek dadaku

Kau tetap hantu penghuni lorong insomniaku
Yang menggoda angan untuk segera bunuh diri
Pada sebuah malam tatkala bulan membayang
Di kolam yang terbuat dari setumpahan puisi
Maka kini dengan belati cantik senyummu itu
Kuregang nadi, kucurahkan darah ke kolam
Agar bulan membayang tak hanya saat malam
Lalu bangkai tubuhku mengapung bagai teratai

Andai…

Pondok Bambu, 2016

Celana Warisan
 : untuk Joko Pinurbo

Sering ketinggalan kereta, bikin aku
malas kemana-mana. Masa muda
yang penuh gairah, semangat juga lucu
kuhabiskan untuk merawat celana.

Celana bukan sembarang celana,
sebab itu hadiah dari almarhum ayah
yang dibeli dengan uang hasil berjudi.
“Nak, rawatlah warna celana ini

seperti engkau merawat sunah nabi,”
Pernah suatu kali aku lupa mengangkatnya
dari jemuran. Dalam mimpi, aku dipalak
seorang begundal puisi yang mabok kopi,

“Serahkan celana itu atau kau mati!”
ancamnya sambil menghunuskan sepi.
Tanpa ba-bi-bu kupelorotkan wasiat ayah
yang menurutku harganya sangat murah.

Seketika aku terbangun, dengan keringat
yang lebih dingin dari tatapan istri tua
kepada istri muda. Sejak saat itulah
kuikrarkan untuk tidak lagi lengah.

Perihal celana semestinya biasa saja,
tapi tidak bagi JokPin. Sebab mereka
yakin tanpa celana ia bukan sesiapa.
Ealah! Pantas saja aku diancam olehnya.

Ternyata celana adalah benda bertulah
seorang penyair yang mahir bertuah.
“Maaf ya, tapi ini hadiah dari almarhum ayah
warnanya memang pudar, kenangan tetap cerah.”

ujarku sambil mencocokkan jadwal kereta
dengan libur kerja: besok aku sowan ke Jogja.

Cimanggis, 2015 – Pondok Bambu, 2016

Astrajingga Asmasubrata

Astrajingga Asmasubrata, kelahiran Cirebon, bekerja sebagai tukang cat duco – melamik – politur di Jakarta Timur, Penggerak Komunitas Malam Puisi Jakarta. Penulis sedang menyelesaikan Buku Sehimpun Puisi Ritus Khayali dan dapat dijumpai di akun Twitter @edoy___

Exit mobile version