Menata Ulang Kehidupan Pluralitas Sebagai Kekuatan Bangsa Secara Demokratis Berlandaskan Pancasila (Bag.1)

Soeprapto M.Ed./Foto as/Nusantaranews.co

Soeprapto M.Ed./Foto as/Nusantaranews.co

Penulis: Soeprapto, M.Ed.

NUSANTARANEWS.CO – Guna memberikan uraian yang memadai mengenai masalah yang diajukan sesuai dengan judul di atas, maka secara berturut-turut kita akan bahas : Pertama, Makna pluralisme dan bedanya dengan pluralistik; Kedua, Pluralisme sebagai akar masalah terjadinya konflik; Ketiga, Peran dan fungsi Pemerintah dan lembaga masyarakat dan keagamaan dalam penyelesaian konflik; Keempat, Metoda penyelesaian konflik; dan kelima, Pola pengelolaan kehidupan pluralitas berdasar Pancasila.

  1. Makna Pluralisme dan Pluralistik

Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak, adalah suatu faham yang mengakui bahwa terdapat berbagai faham atau entitas yang tidak tergantung yang satu dari yang lain. Masing-masing faham atau entitas berdiri sendiri tidak terikat satu sama lain, sehingga tidak perlu adanya substansi pengganti yang mensubstitusi faham-faham atau berbagai entitas tersebut. Salah satu contoh misal di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa. Menurut faham pluralisme setiap suku bangsa dibiarkan berdiri sendiri lepas yang satu dari yang lain, tidak perlu adanya substansi lain, misal yang namanya bangsa, yang mereduksi eksistensi suku-suku bangsa tersebut.

Faham pluralisme melahirkan faham individualisme yang mengakui bahwa setiap individu berdiri sendiri lepas dari individu yang lain. Faham individualisme ini mengakui adanya perbedaan individual atau yang biasa disebut individual differences. Setiap individu memiliki cirinya masing-masing yang harus dihormati dan dihargai seperti apa adanya. Faham individualisme ini yang melahirkan faham liberalisme, bahwa manusia terlahir di dunia dikaruniai kebebasan. Hanya dengan kebebasan ini maka harkat dan martabat individu dapat didudukkan dengan semestinya. Trilogi faham pluralisme, individualisme dan liberalisme inilah yang melahirkan sistem demokrasi dalam sistem pemerintahan utamanya di Negara Barat.

Berikut disampaikan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara Pernacis yang melandasi pelaksanaan sistem demokrasi di Negara tersebut

United States Declaration of Independence

We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and pursuit of Happiness. That to secure these rights, governments are instituted among men, deriving just powers from the consent of the governed.

Declaration of the Rights of Man and Citizen – Declaration des droits de l’homme et du citoyen

Men are born and remain free and equal in rights. Social distinction can be based only upon  public utility. The aim of every political association is the preservation of the natural and imprescriptible rights of man. These rights are liberty, property, security, and resistance to oppression.

Dari deklarasi tersebut nampak dengan nyata  faham pluralisme, individualisme dan liberalisme menjelujuri sistem demokrasi yang diterapkan di kedua Negara tersebut. Dua deklarasi tersebut dinyatakan hampir bersamaan waktunya, yang satu di Amerika Serikat, yang satu  di salah satu negara di Eropa.

Meskipun demikian mereka tetap mengakui bahwa manusia tidak mungkin hidup seorang diri. Untuk dapat menunjang hidupnya dan untuk melestarikan dirinya, mereka memerlukan pihak lain; beberapa pihak mengatakan bahwa hal ini terjadi didorong oleh naluri atau instinct berkelompok. Mereka memerlukan hidup bersama entah bagaimana bentuknya, dengan mendasarkan diri pada belief system yang dianutnya. Di antara hubungan manusia dengan pihak lain berbentuk pengabdian, bahwa yang satu semata-mata harus mengabdi kepada pihak yang lain. Terdapat juga pengakuan bahwa hubungan antar manusia itu adalah dalam kesetaraan. Sebagai akibat pola hidup manusia menjadi sangat beragam.

Didorong oleh realitas tersebut, maka bangsa Amerika dalam menerapkan pluralisme, individualisme dan liberalisme mencari pola bagaimana dapat membentuk suatu kehidupan bersama. Dalam hidup bersama diperlukan kesepakatan untuk dijadikan pegangan bersama dalam melangkah ke depan menghadapi tantangan hidup bersama. Dikembangkan pola yang disebut “kontrak sosial,” bahwa anggota masyarakat harus merelakan sebagian dari hak individu demi  terwujudnya kehidupan bersama.

Semangat bersatu dalam kehidupan bersama ini nampak dalam semboyan yang terdapat dalam motto lambang negaranya yang berbunyi “e pluribus unum,” yang berarti “out of many, one” dari yang banyak itu satu, atau unity in diversity. Metoda yang diterapkan dalam membentuk kesatuan, disebut metoda melting pot, yang kalau dinilai lebih jauh sudah menyimpang dari prinsip pluralisme.

Pluralitas adalah sifat atau kualitas yang menggambarkan keanekaragaman; suatu pengakuan bahwa alam semesta tercipta dalam keaneka ragaman. Sebagai contoh bangsa Indonesia mengakui bahwa negara-bangsa Indonesia bersifat pluralistik, beraneka ragam ditinjau dari suku-bangsanya, adat budayanya, bahasa ibunya, agama yang dipeluknya, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu kenyataan atau keniscayaan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keaneka ragaman ini harus didudukkan secara proporsional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus dinilai sebagai asset bangsa, bukan sebagai faktor penghalang kemajuan. Perlu kita cermati bahwa pluralitas ini merupakan sunnatullah.

Pola sikap bangsa Indonesia dalam menghadapi keaneka-ragaman ini berdasar pada suatu sesanti atau adagium “Bhinneka Tunggal Ika,” yang bermakna beraneka tetapi satu, yang hampir sama dengan motto  yang dipegang oleh bangsa Amerika, yakni “e pluribus unum.” Sesanti ini berasal dari karya mPu Tantular, yang terdapat dalam kakawin Sutasoma pada abad 14, dan telah dikukuhkan menjadi semboyan dalam Lambang Negara yang tercantum dalam Perubahan UUD 1945 dan tertera dalam pasal 36a. Dalam menerapkan pluralitas dalam kehidupan, bangsa Indonesia mengacu pada prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa yang diutamakan adalah kepentingan bangsa bukan kepentingan individu, berikut frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945:

  1. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa;
  2. Bahwa kemerdekaan yang dinyatakan oleh bangsa Indonesia, supaya rakyat dapat berkehidupan kebangsaan yang bebas;
  3. Bahwa salah satu misi Negara-bangsa Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
  4. Bahwa salah satu dasar Negara Indonesia adalah Persatuan Indonesia, yang tiada lain merupakan wawasan kebangsaan.
  5. Bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya Negara-bangsa Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut jelas bahwa prinsip kebangsaan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Istilah individu atau konsep individualisme tidak terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain bahwa pluralistik yang diterapkan di Indonesia tidak berdasar pada individualisme dan liberalisme.

Pluralitas atau pluralistik tidak merupakan suatu faham, isme atau keyakinan yang bersifat mutlak. Untuk itu tidak perlu dikembangkan ritual-ritual tertentu seperti halnya agama. Pluralistik yang diambil oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu prinsip dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Pluralistik mengandung pengertian bahwa dalam kehidupan bersama dilandasi oleh sikap inklusif, yang bermakna bahwa dalam berhubungan dengan pihak lain tidak bersikap menang-nya sendiri, bahwa pendapatnya tidak mesti yang paling benar, tidak meremehkan pendapat pihak lain.
  2. Sikap pluralistik tidak bersifat sektarian dan eksklusifyang terlalu membanggakan kelompoknya sendiri dan tidak memperhitungkan kelompok lain. Sebagai akibat berkembang sikap curiga, cemburu dan berlangsung persaingan yang kurang sehat.
  3. Sikap pluralistik tidak bersifat formalistikbelaka, yang hanya menunjukkan perilaku semu. Sikap pluralistik dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai dan saling hormat menghormati. Bahkan harus didasari oleh rasa kasih sayang sehingga dapat mempersatukan keanekaragaman dalam kerukunan.
  4. Sikap pluralistik mengarah pada tindakan konvergenbukan divergen. Sikap pluralistik mencari common denominator atau de grootste gemene deeler dan de kleinste gemene veelvoud dari keanekaragaman sebagai common platform dalam bersikap dan bertingkah laku bersama.
  5. Sikap pluralistik tidak bersifat ekspansif, sehingga lebih mementingkan kualitas dari pada kuantitas.
  6. Bersikap toleran, memahami pihak lain serta menghormati dan menghargai pandangan pihak lain
  7. Sikap pluralistik tidak menyentuh hal-hal yang bersifat sensitif pada pihak lain.
  8. Sikap pluralistik bersifat akomodatif dilandasi oleh kedewasaan dan pengendalian diri secara prima. Sikap pluralistik bersifat sportif, berani mengakui keunggulan dan kelemahan diri dan mitra kerja atau mitra bertanding.
  9. Sikap pluralistik menghindari sikap ekstrimitas, mengmbangkan sikap moderat, berimbang dan proporsional.

 

  1. Pluralisme sebagai akar Masalah terjadinya Konflik

Di depan telah dikemukakan bahwa pluralisme tidak dapat dilepaskan dari faham penyerta yakni individualisme dan liberalisme. Individualisme adalah faham yang terlalu mengagungkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan golongan. Sedang liberalisme memuja kebebasan dengan menerapkan prinsip persaingan yang bebas. Penerapan kedua faham tersebut tanpa kendali pasti akan memicu terjadinya perebutan kepentingan yang bermuara pada konflik. Pertentangan atau konflik  dapat terjadi antar individu, antara individu dengan kelompok, antar kelompok, maupun antara individu, kelompok dan negara-bangsa, maupun antara kepentingan pemerintah pusat dan daerah.

Meskipun demikian bila kita telaah lebih dalam akar masalah terjadinya konflik adalah perilaku yang kurang adil yang memicu ketidak puasan masyarakat, atau sebagian masyarakat yang bermuara pada konflik.

Sebagai contoh misalnya mengenai Undang-undang tentang pornografi, terjadi perbedaan kepentingan antara individu, kelompok tertentu dan negara-bangsa, sehingga pada waktu penyusunan undang-undang tentang pornografi mengalami situasi konflik yang berkepanjangan. Masing-masing pihak berargumentasi sesuai dengan kepentingannya. Dalam mencari solusi mengenai konflik semacam ini maka perlu adanya suatu acuan baku. Misal bahwa segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia harus merupakan penjabaran dari prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Segala perturan perundang-undangan diterbitkan demi kepentingan seluruh rakyat, bukan kepentingan sekelompok masyarakat. Inilah acuan kritik terhadap segala produk hukum yang berlaku di Indonesia. Berikut disampaikan sekedar  teori  kenegaraan yang melandasi ketentuan dimaksud.(AS/Sumber LPPKB)

Exit mobile version