Memaknai Arti Pilkada

Pilkada Serentak 2018/Foto via sumbawanews/Nusantaranews

Pilkada Serentak 2018. (Foto: Ilustrasi Nusantaranews)

PESTA DEMOKRASI pemilihan kepala daerah (Pilkada) tak lama lagi dihelat serentak. Menurut jadwal KPU, pelaksanaannya tepat pada tanggal 27 Juni 2018. Dan digelar di 171 daerah di seluruh Indonesia. Di situlah persaingan politik bakal digelar. Masing-masing calon kepala daerah bakal saling sikut-sikutan bersaing untuk menarik dukungan rakyat hanya untuk sebuah kursi kepemimpinan.

Berbagai persiapan dari calon telah dilakukan. Mulai dari mendeklarasikan diri sebagai calon kepala daerah hingga mendaftarkan diri ke KPU daerah. Masing-masing partai politik telah mengusung jagoannya untuk mengikuti kompetisi politik menjadi kepala daerah.

Dinamika politik itu sudah tidak asing lagi di mata publik. Siapapun yang mencalonkan diri dan partai manapun yang berkoalisi tidaklah menjadi persoalan. Sebab, yang terpenting dari itu semua adalah bagaiamana rakyat bisa menggunakan kesadaran dan nurani yang jernih untuk memilih pemimpinnya.

Pilihan rakyat dalam memilih pemimpin, tentu akan menentukan nasibnya lima tahun ke depan. Mungkin semua rakyat akan sepakat, jika ada kalimat bahwa pemimpin jangan mengingkari janji. Sebab, kerap kali ada calon pemimpin hanya berjanji tanpa bukti. Padahal, rakyat ingin pemimpin yang melangkah tak melenceng dari janji politiknya.

Dis amping itu, untuk melaksanakan program–program kerja yang dijanjikan oleh calon pemimpin yang telah terpilih, pemimpin tersebut harus memiliki kemampuan dalam mengajak bekerja sama dengan rakyat dalam mensukseskan program kerja tersebut. Pemimpin yang nantinya terpilih dalam Pilkada tentunya harus mampu mempengaruhi rakyatnya untuk melakukan kerja sama yang optimal.

Dalam teori kepemimpinan Hersey dan Blanchard mengemukakan bahwa pimpinan adalah seorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakti bersama guna mencapai tujuan.

Para calon pemimpin sudah barang tentu akan menggunakan kecakapannya untuk dapat mempengaruhi rakyat untuk turut berpartisipasi dalam Pilkada. Setidaknya, memberikan suara, menggunakan hak yang melekat pada diri mereka sebagai warga negara.

Meski demikian, para calon pemimpin hendaknya terus memperhatikan etika dan tata tertib. Kampanye hitam (black campaign), kampanye negatif, dan politik uang (money politic) harus sudah dijauhi dan dihindarkan. Jangan sebaliknya!

Dalam pilkada, calon pemimpin beserta pendukung diuji untuk bisa berkampanye dengan bersih, transparan dan jujur. Di situ akan melahirkan sebuah penilaian positif terhadap kiprah dan citra parpol. Baik dan buruk citra parpol tergantung bagaimana sikap kader dan pendukung parpol itu sendiri. Rakyat sudah teramat pandai untuk mencerna dan menilai.

Satu hal urgen yang patut terus diingatkan adalah menang atau kalah dalam sebuah kompetisi sesungguhnya hal yang biasa. Tak perlu marah-marah dan pamer otot.

Mengutip tulisan dari Alaidin Koto, Guru Besar UIN Sunan Syarif Kasim (Suska) Riau di Koran Sindo bahwa bagi pemenang boleh saja menang dalam arti meraih suara terbanyak saat pemilihan, tetapi belum tentu bisa menang dalam memperjuang nasib rakyat yang telah memberikan amanah penuh harap kepada mereka. Bila yang terjadi adalah sebaliknya maka mereka adalah orang yang kalah melalui kemenangnya. Lalu, siapakah pemenang sesungguhnya? Ibarat sebuah permaianan, hakikat permainan adalah hidup di dunia fana. Begitulah Allah menyebutnya dalam Kitab Suci Al–Quran. Bila kalah dan menang hanya ada di ujung atau di akhir permainan, maka kekalahan atau kemenangan seseorang hanya ada di ujung atau di akhir kehidupannya itu sendiri, husnul khatimah. Oleh Sebab itu, tidak ada menang atau kalah secara hakiki bila kita masih berada di dunia.

Maka siapapun yang menang dalam pilkada tersebut, pemenang yang meraih suara terbanyak tidaklah disebut sebagai pememang dalam arti hakiki. Mereka yang menang hanya boleh disebut pememang sementara. Pemenang yang sesungguhnya dan untuk selamanya adalah yang diputuskan oleh Yang Maha Adil di akhirat, Hadiahnya bukan lagi kursi jabatan gubernur ataupun bupati, tetapi istana abadi di dalam surga.

Hemat penulis jadikanlah makna pilkada ini juga sebagai momentum untuk bersilaturahmi dalam memperkuat tali persatuan dan kesatuan antar umat. Lebih baik lagi, apabila dalam pilkada ini ada calon–calon pemimpin dapat memberikan contoh yang baik terhadap para pemilih ketika saat berkampanye. Misalnya dengan terus berpidato menyampaikan pentingnya arti memperkuat rasa persatuan dan kesatuan, Bhineka Tunggal Ika.

Jangan sampai adanya pesta demokrasi pilkada ini, justru malah memeperpecah belah persatuan dan kesatuan. Dimana yang dulunya kawan malah jadi lawan, dulunya suadara malah jadi musuh selamnya. Jika demikian yang terjadi, sungguh sangatlah rugi dan disayangkan.

Pungkasan, rakyat harus berpartisipasi dalam Pilkada. Memilih sesuai dengan pertimbangan hati nurani bersih tanpa embel-embel apapun. Sebab, nasib lima tahun ke depan akan ditentukan waktu sehari. Terakhir, siapapun pilihannya kita harus sepakat bahwa kita adalah sauadara sebangsa setanah air dan junjunglah tinggi rasa persatuan. Karena dengan rasa persatuanlah kita akan kuat serta dengan bersatu pula maka akan bisa terwujudlah cita–cita menjadi masyarakat makmur, adil dan sejahtera.

Penulis: Santoso, Alumnus Jurusan Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Exit mobile version