Melahirkan Pendidikan Anak di Era Milenial

Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (Cover). Foto: Dok. Tokoperedia

Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (Cover). Foto: Dok. Tokoperedia

Judul Buku : Mendidik Pemenang Bukan Pecundang
Penulis : Dhitta Puti Sarasvati & J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : I, April 2016
Tebal :xvi + 324 Halaman
ISBN : 978-602-291-193-7
Peresensi: M Ivan Aulia Rokhman

Sistem pendidikan di Indonesia, terlebih pada zaman digital, tidak pernah mengakui kalau tidak mempersiapkan anak-anak menghadapi dunia nyata. Anak-anak meninggalkan bangku sekolah dalam kondisi telanjang. Mereka lulus dengan nilai istimewa dari perguruan tinggi terbaik negeri ini, tetapi seumur hidup dipaksa berparade dalam prosesi tipu menipu diri sendiri sebagai manusia pecundang.

Seiring perkembangan zaman, sistem kurikulum pendidikan di Indonesia sangat maju. Mungkin bagi pendidik menjadi pembekalan ilmu untuk mendapatkan nilai yang memuaskan serta melapangkan dunia kerja. Di sisi lain generasi pendidik menjadi pertumbuhan siswa dalam menuntut ilmu dan mengembangkan teknologi yang canggih. Banyak sekali tantangan yang perlu dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang cemerlang, terutama memodalkan nilai dan prestasi yang baik.

Buku ini ditulis bagi para pendidik, calon pendidik, dan orang tua untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi dunia nyata. Dunia nyata era industri informasi yang bergerak cepat dan selalu  berubah. Supaya pendidikan tidak menjadi burung pemangsa bangkai yang bertengger di leher anak-anak.

Tujuan dari buku ini adalah bagaimana memahami pendidik yang lebih jernih dalam menuntut ilmu dan teknologi untuk memasuki era Milenium. Salah satunya teknologi informasi yang diminati para masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sumber dari segala penggerak perubahan tanpa kecuali dunia pendidikan. Eksklusif menjadi inklusif. Sekat dan tabir sosial dirobohkan internet. Masyarakat makininklusif dan transparan. Vertikal menjadi horizontal. Relasi kuasa guru murid atau dosen mahasiswa tidak relevan lagi. Pendidik bukan lagi menjadi satu-satunya sumber knowledge dan wisdom. Kompetisi indivindual bergeser menjadi sinergi sosial.

Bangsa Indonesia pada dekade milenuim baru ini sedang berada di ambang kekacauan besar. Ketidakteraturannya nyaris tidak sempurna. Salah satu persoalan berat menghadapi perubahan adalah kemampuan keluar dari zona nyaman. Pendidikan di Indonesia sangat mengabaikan latihan-latihan keluar dari zona nyaman. Itulah tantangan pendidikan di Indonesia yang membiarkan generasi mudanya lahir, dibesarkan, dididik, dan dilatih bekerja sebagai passenger. Sebagai pendidik yang baik tentu memiliki pemenang. Pemenang memiliki pikiran yang tumbuh dan berkembang. Mereka tetap bekerja kendati lingkungan tidak mendukung. Kecerdasan mereka seperti parasut. Terus berkembang karena dipakai untuk bekerja. Otak, seperti otot, menjadi kuat karena dilatih setiap hari (Hal 4-9).

Selain memahami pendidik dengan potensi kecerdasan dan menguatkan akal cemerlang. Ada beberapa rangkuman dari beberapa kisah tersebut menjadi pembelajaran bagi generasi pendidik. Tidak hanya melantunkan kisah yang ditulis tetapi ada kutipan ilmiah serta pesan yang akan dipetik dari tulisan.

Salah satunya pendidik yang sukses mendirikan sekolah sekaligus menciptakan metode pengajar yakni Maria Montessori. Tokoh ini malah mendirikan sekolah Montessori pertama di kawasan terabaikan itu pada 6 Januari 1907. Montessori juga diberi kebebasan untuk merancang dan membimbing program pelatihan guru di Milan. Selama 6 bulan guru-guru dilatih secara intensif untuk belajar mengenai metode Montessori. Ia mulai berkeliling dunia untuk memberi kuliah dan berbagai pengalaman. Metodenya mulai dikenal luas (Hal 67).

Perlu diingat ketika tujuan pendidikan adalah agar manusia “belajar untuk menjadi”, bukan berati bahwa murid sudah harus toleran. Sekolah yang menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah “belajar untuk menjadi” akan menghargai pentingnya berproses termasuk membuat kesalahan. Semua pengalaman termasuk pengalaman pahit ataupun pengalaman berbuat salah, apabila direfleksikan, bisa menjadi pengalaman berharga.

M Ivan Aulia Rokhman, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Dr Soetomo Surabaya. Lahir di Jember, 21 April 1996. Karyanya dimuat di koran lokal dan Nasional. Saat ini menjabat sebagai Devisi Kaderisasi di FLP Surabaya, dan UKKI Unitomo. Saya penikmat buku sastra, dan keagamaan. Seorang Penulis ditengah Berkebutuhan Khusus.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com

Exit mobile version