Opini

Tantangan Dunia Pers di Era Digital

pbnu, menkopolhukam, uu terorisme, pelaku hoaks, nusantaranews
ILUSTRASI – Penyebaran hoaks di media sosial. (Foto: Istimewa)

Tantangan Dunia Pers di Era Digital

Tantangan terbesar pers saat ini adalah digitalisasi. Fenomena disrupsi media, senja kala media cetak menjadi fenomena yang kini dihadapi media secara global.

Dunia pers Indonesia menghadapi jalan berliku, seiring yang dihadapi AJI untuk menegakkan nilai-nilai profesionalisme dan kebebasan pers dan berekspresi. Pada 2019 ini merupakan tahun istimewa di usia 74 tahun kemerdekaan RI berada di tengah pusaran media yang sedang menghadapi tantangan besar akibat digitalisasi.

Tantangan yang dihadapi adalah konsekuensi yang tidak diinginkan terjadi, seperti sejauh mana konvergensi itu tidak akan menjadi sarana monopoli, sarana oligopoli, kartel, kompetisi tidak sehat, dan konglomerasi pers. Persoalan pers terletak pada peraturan, agar konvergensi pers memberi manfaat sebesar-besarnya pada keluasan pers, bukan justru membebani hak hidup pers.

Tantangan juga datang dari perkembangan media sosial. Media sosial lahir dan berkembang pesat karena bebeapa hal, perkembangan teknologi informasi, kebutuhan informasi yang cepat, mudah dan murah dan individual. Sejauhmana media sosial akan menjadi pesaing yang akan mematikan pers atau media tradisional. Sejauh mana media sosial dapat menjadi bagian dari pers yang bertanggungjawab, menjunjung tinggi azas-azas dan kelaziman pers.

Sedangkan dari eksternal, dominasi pemilik modal menimbulkan tantangan. Pertama, motif ekonomi. Rating menjadi ukuran keberhasilan suatu program pers, tidak diukur oleh mutu program, melainkan semata-mata ukuran laba ekonomi yang akan diperoleh. Kedua, fungsi utama pers tidak untuk memperoleh dan menyebarkan seluas-luasnya informasi kepada publik. Suatu informasi akan dimuat atau tidak dimuat semata-mata ditentukan oleh transaksi ekonomi dengan sumber berita, baik dengan cara yang dibenarkan oleh hukum maupun yang bertentangan dengan hukum.

Ketiga, politisasi pers. Pemilik modal yang menguasai pers menjadikan pers sebagai instrumen politik untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Politisasi ini tidak lagi mengindahkan prinsip-prinsip independensi, obyektifitas, fairness.

Pesatnya digitalisasi,tak hanya melahirkan media digital, tetapi juga meluasnya pemakaian media sosial dan mudahnya penyebaran hoax dan disinformasi. Meluasnya hoax menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat dan membuat orang mulai memperbincangkan bahaya media sosial. Sebagian orang kemudian berpaling ke media konvensional yang menghasilkan informasi lebih kredibel.

Tantangan dunia pers dalam menjembatani kepentingan rakyat dan pemerintah salah satunya adalah pers yang tidak netral. Sebagian media pers merupakan milik suatu golongan maka akan memihak ke golongan tersebut dan digunakan untuk pencapaian tujuan dari golongan itu sendiri. sedangkan masyarakat membutuhkan pers yang netral, berita yang benar dan tidak terlalu di bumbui. Pers yang cerdas akan mencerdaskan masyarakat luas. Namun, yang terjadi saat ini adalah media pers berisi pembodohan publik. meskipun sudah ada undang undang yang mengatur tentang pers, namun tetap saja terjadi penyimpangan.

Riset Nielsen, Consumer & Media View menunjukkan bahwa media-media konvensional masih tetap menjadi andalan publik di tengah-tengah melesatnya penetrasi digital. Baik itu koran, radio, maupun televisi.

Koran, meski hanya memiliki daya penetrasi pada kurang dari 8% penduduk Indonesia, nyatanya merupakan sumber utama bagi mereka yang berasal dari kalangan yang lebih affluent. Meski frekuensi mereka menggunakan internet mencapai 86%, elemen trust koran tetap lebih besar karena kebutuhan akan informasi yang akurat untuk sumber referensi dapat dipenuhi lantaran analisis yang sangat detail hanya bisa ditemukan di media cetak.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Radio, dengan tingkat penetrasinya yang berkisar pada angka 37% dengan lama waktu mendengar rata-rata 129 menit per hari, memiliki daya tarik berbeda karena programnya dan penyiarnya yang memiliki kekhasan tersendiri di antara lantunan musik yang diputar. Pendengar radio pun cenderung lebih percaya dengan iklan yang disiarkan oleh radio (54%) daripada video online (48%).

Televisi sendiri masih bertengger sebagai pemuncak karena penetrasinya masih yang tertinggi di antara seluruh media, mencapai 96%. Terbatasnya infrastruktur dan pengetahuan teknologi terkini yang masih rendah pada sebagian lapisan masyarakat serta kenyamanan dengan konten yang telah disediakan oleh TV konvensional merupakan beberapa alasan utama yang membuatnya tetap paling terjangkau.

Menengok pada data-data tersebut, maka sebetulnya kekuatan media-media konvensional masih sangat besar meski arus digital juga terus menguat. Adapun agar dapat menyesuaikan diri dengan era digital ini, maka media-media konvensional memang sudah selayaknya juga menambah/menguatkan platform-nya di ranah online agar dapat mengimbangi dinamika yang sedang dan akan berlangsung.

Garda Terdepan

Tingkat kepercayaan terhadap koran, durasi radio, serta penetrasi televisi sesungguhnya dapat menjadi kombinasi yang ampuh untuk menghadang efek negatif yang muncul dari dunia maya. Hoaks dapat dikunci mati jika wartawan-wartawan media konvensional bersatu padu menangkalnya.

Saat ini, meski media-media online terus lahir dan telah menembus 40.000-an media, namun penguatan peran media-media konvensional yang telah merambah platform online sangatlah diperlukan. Sebab, masih banyak dari media online yang ada belum mampu berperan dengan baik dalam memberikan informasi yang jernih dan menjernihkan. Masih sangat sedikitnya jumlah media online yang belum lolos verifikasi dewan pers juga menjadi salah satu indikator.

Untuk itu, pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya mengingatkan kembali kepada semua elemen pers agar dapat mendorong pelaksanaan ratifikasi Piagam Palembang (2010) semaksimal mungkin, terutama pada 4 hal: penegakan kode etik jurnalistik pada seluruh kegiatan jurnalistiknya, kepatuhan pada standar perusahaan pers, standar perlindungan wartawan, dan standar kompetensi wartawan.

Dengan mendorong keempat hal tersebut, maka penulis meyakini bahwa wartawan akan menjadi garda terdepan dalam menangkal berbagai efek negatif revolusi digital.

Kebebasan pers menjadi jalan bagi media massa menjalankan perannya sebagai jembatan kepentingan antara negara dan masyarakat. Kebebasan tersebut harus ditopang oleh independensi dan profesionalisme pers.

Inilah modal sosial bagi pers dalam menghadapi tantangan yang setiap saat hadir menguji kebebasan pers itu sendiri. Kebebasan pers di mata publik dimaknai sebagai terbukanya ruang bagi pers untuk bekerja secara profesional, independen, dan membawa amanat kepentingan publik.

Kebebasan pers menjadi basis dari kerja-kerja pers seperti amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 2 UU ini menyatakan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Namun, kebebasan pers tidak bisa berdiri sendiri. Ia perlu ditopang oleh independensi dan profesionalisme dalam menjalankan tugas dan misinya, salah satunya adalah memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Inilah tantangan utama bagi kebebasan pers.

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Bagi publik, independensi merupakan harga mati yang harus diperjuangkan pers terus-menerus. Kekerasan menjadi tantangan berat bagi kebebasan pers pasca reformasi, terutama pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terkait kasus kekerasan terhadap pekerja pers menyebutkan angka yang relatif stabil. Artinya, tidak ada penurunan jumlah kasus secara signifikan dalam 10 tahun terakhir.

Dalam rentang waktu tersebut, rata-rata jumlah kasus kekerasan terhadap pekerja pers mencapai 50 kasus dalam setahun. Kekerasan fisik dan ancaman teror terhadap pekerja pers menjadi kasus yang paling banyak terjadi, bahkan kasus pembunuhan masih mewarnai dan menghantui perjalanan pers di negeri ini. Ini belum termasuk data kekerasan dan jerat hukum terkait kebebasan informasi sejak diberlakukannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 2008.

Setidaknya Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mencatat ada 134 orang (narasumber, jurnalis, dan netizen) terjerat kasus hukum terkait pemberlakuan UU ITE. Jika dilihat berdasarkan pelaku, LBH Pers mencatat aparat negara paling banyak menjadi pelaku kekerasan terhadap pers. Karena itu, publik pun menilai peran negara belum memadai dalam melindungi pers dari ancaman dan tindak kekerasan. Hal ini juga berimbas pada penilaian publik terhadap peran negara dalam menjamin kebebasan pers.

Data Freedom House merekam rata-rata tingkat kebebasan pers Indonesia dalam rentang masa tersebut berada di angka 52 dan masuk dalam kategori bebas sebagian (partly free). Untuk masuk kategori bebas, Indonesia harus berada di rentang poin 0-30. Pada 2015, tingkat kebebasan pers Indonesia berada di peringkat ke-97 dari 199 negara di dunia dan berada di peringkat ke-22 dari 40 negara Asia Pasifik.

Tentu kondisi ini harus diakui jauh lebih baik jika dibandingkan era Orde Baru. Perubahan dan tantangan Perkembangan teknologi digital turut mengubah wajah konsumen media. Mereka menjadi lebih aktif dan interaktif dalam bermedia. Hasil jajak pendapat memperlihatkan, frekuensi mengikuti pemberitaan di media cetak, media berita online, dan media sosial menunjukkan angka yang relatif sama. Rata-rata responden mengaku setiap hari mengikuti pemberitaan dari ketiga jenis media tersebut.

Hal ini menjadi gambaran gencarnya penetrasi dunia digital yang berhasil membelah minat publik untuk mengonsumsi berita dari jalur digital selain dari media cetak. Perubahan ini menciptakan publik yang semakin kritis, terbuka, dan turut aktif memengaruhi proses jurnalisme itu sendiri. Pendek kata, jika sebelumnya jurnalisme satu arah, perlahan telah ‘digempur’ oleh jurnalisme dua arah dan interaktif.

Bisa jadi inilah yang oleh Jurgen Habermas (2001) disebut sebagai public sphere (ruang publik), komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Hal ini pada akhirnya menjadi tantangan kedua bagi kebebasan pers itu sendiri. Profesionalisme pers menjadi kata kunci dan syarat mutlak untuk menyajikan kredibilitas dari produk jurnalistik yang disuguhkan ke publik. Sebab, tidak jarang kemudian jika tanpa melakukan ini, pers akan menjadi sorotan dan tentu saja ancaman, terutama bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Baca Juga:  UKW Gate Tak Tersentuh Media Nasional

Berbeda dengan masa Orde Baru ketika tekanan berwujud sensor, pemberedelan, dan pelarangan, kini ancaman dan potensi tekanan lahir justru dari publik itu sendiri. Tokoh pers Atmakusumah, dalam tulisannya pada Hari Pers Nasional menyebutkan soal tekanan publik terhadap pers, terutama terkait apa yang disebut kriminalisasi pers. Pekerja pers masih terancam terjerat hukum terkait penggunaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat memenjarakan pekerja pers karena karya jurnalistiknya.

Beruntung lahir Surat Edaran Mahkamah Agung yang ditunjukan kepada para hakim di seluruh Indonesia berupa anjuran agar hakim meminta bantuan Dewan Pers untuk mengirimkan saksi ahli pers ketika pengadilan memproses perkara pers. Hal ini sedikit banyak mengurangi tekanan secara hukum pada pekerja pers. Namun, ini pun belum menjamin pasti pers aman dari jeratan hukum akibat dari karya jurnalistiknya.

Hadirkan Persatuan

Pada akhirnya, kemerdekaan pers dan kecepatan laju digital saat ini patut kita syukuri, hal ini merupakan sarana hakiki setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna meningkatkan dan mengembangkan mutu kehidupan dan penghidupan manusia.

Kebebasan pers memang bukan lagi persoalan, namun sampai kapan pun pers tetaplah harus menjadi alat perjuangan. Jika dahulu pers berperan dalam menyatukan bangsa menentang penjajahan, maka hari ini pers harus berhadapan dengan dirinya sendiri dalam menahan lajunya, berkomitmen penuh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menegakkan kebenaran demi hadirnya persatuan.

Pers jaman now adalah pengawal demokrasi dan pembangunan. Untuk itu pers harus semakin terbuka dan dewasa, terutama dalam menerima kritik, khususnya elemen televisi sebagai pemegang tampuk penetrasi tertinggi saat ini. Apa yang pers sajikan, sudah tentu akan mempengaruhi masyarakat luas. Jangan sampai pers kita hanyut dalam sajian pemberitaan yang justru menguatkan apa yang menjadi efek negatif dari revolusi digital dan menopang cacatnya demokrasi (flaw democracy).

Untuk itu juga menjadi penting agar pers tak terkungkung dalam kepentingan yang sempit dan menjadi alat propaganda. Pemimpin pers yang berani dan berintegritas tinggi merupakan sebuah keniscayaan.

Tahun 2019 telah berjalan, suhu politik-pun cenderung meningkat. Inilah momentum terbaik pers jaman now menjelang dua dasawarsa reformasi untuk membuktikan diri sebagai bagian penting dalam proses politik demokrasi, ikut mengawal ragam ekspresi aspirasi politik agar tetap damai dan beradab.

Dengan memegang teguh prinsip cover both side dan tekad untuk menghadirkan persatuan melalui berita yang benar dan tak membodohi, maka saya percaya revolusi digital ini justru dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menyebarkan informasi penuh kebaikan dan kejujuran.

Penulis: Aji Setiawan, mantan wartawan Majalah alKisah Jakarta dan Ketua PWI-Reformasi Korda Jogjakarta 1998-2003

Related Posts

1 of 3,051