Masih Adakah Soe Hok Gie di Era Kini?

Quot Soe Hok Gie. Ilustrasi: NusantaraNews.co

Quot Soe Hok Gie. Ilustrasi: NusantaraNews.co

 

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras, diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai  kecil. Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur”

Kalimat-kalimat tersebut dicuplik dari catatan harian seorang pemuda bernama Soe Hok Gie yang hidup pada dekade 60-an. Soe Hok Gie atau yang akrab disapa Gie adalah pemuda Tionghoa yang begitu fenomenal di jagad pergerakan mahasiswa. Meskipun sudah tiada, semangatnya masih hidup hingga sekarang dan menginspirasi perjuangan para pemuda. Ia mati muda satu hari sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke-27 pada 16 Desember 1969. Ia ditemukan tewas di puncak Gunung Semeru ketika menjalani hobinya mendaki gunung. Mengenai kebiasaannya mendaki gunung ini, Gie pernah berkata dengan mengutip Walt Whitman, “now I see the secret of making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Meskipun masih sangat muda, sepak terjang Gie begitu fenomenal. Pemikiran-pemikirannya tentang kemanusiaan dan kebangsaan dapat ditelusuri dalam catatan hariannya. Ia getol mengadvokasi masyarakat, khususnya kalangan bawah dan tertindas dengan melakukan demonstrasi jalanan. Baginya, demonstrasi lebih baik karena mendiamkan kesalahan adalah sebuah kejahatan. Ia juga mengasah ketajaman intelektualnya dengan menyuarakan pemikirannya di berbagai media. Tulisannya yang tajam dan penuh kritik terhadap ketimpangan sosial dan kemiskinan, terserak di berbagai media massa seperti Harian Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.

Terkadang berlayar ke masa lalu mampu menghilangkan kepenatan kita akan kondisi sekarang yang menjemukan. Potret kecil kehidupan pemuda Gie tersebut setidaknya dapat menjadi bahan kontemplasi kita hari ini dalam menjelaskan mengapa pemuda di era sekarang seakan kehilangan kepekaan dan kritisismenya. Sudah jarang kita temui kaum muda Indonesia yang gemar mengkonsumsi buku bacaan untuk memperluas wawasan. Membaca buku saja sudah enggan, apalagi menuliskan pemikiran di media massa untuk mendidik masyarakat. Kaum muda Indonesia hari ini lebih gemar pergi ke konser musik barat, menonton film hollywood, dan berbelanja di pusat perbelanjaan. Mereka terjebak pada budaya konsumtif yang bukan kepribadian bangsanya. Mereka juga lebih nyaman berceloteh ria di media sosial, seperti facebook dan instagram. Alih-alih menggunakan media-media tersebut untuk pendidikan bagi masyarakat, mereka menggunakannya sebagai sarana eksistensi diri dan popularitas pribadi.

Ada sebuah keyakinan, yang bisa benar tapi juga bisa salah, bahwa kondisi sosial dan politik bangsa yang tidak kondusif menjadi determinan dalam membentuk kepribadian dan karakter para pemuda. Suka tidak suka, ada perbedaan signifikan antara kehidupan pemuda-pemuda di era Gie dengan kaum pemuda di era sekarang. Pada era Gie, kondisi ekonomi sangat sulit. Harga-harga melambung tinggi sebagai akibat kelangkaan dan inflasi. Suara-suara kritis yang menentang pemerintah dibungkam dengan popor senjata. Kondisi inilah yang jadi faktor pendorong munculnya perlawanan para pemuda, khususnya mereka yang berstatus mahasiswa. Kondisi hari ini terbalik 180 derajat. Perekonomian negeri tumbuh sehat meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi masih fluktuatif dan kerap meleset dari target. Situasi politik nasional juga cukup demokratis meskipun masih dalam konteks transisi demokrasi. Siapa saja bebas berpendapat untuk menyuarakan aspirasinya. Namun apa dinyana, “kasur empuk” yang terhidang hari ini justru melahirkan produk-produk pemuda yang malas bergerak, terlena oleh kenyamanan dan kemapanan.

Tak adil rasanya kalau memukul rata semua pemuda hari ini sebagai kelompok pemalas dan tidak peduli pada nasib bangsa dan negara. Harus diakui masih ada pemuda yang bergerak di ruang-ruang sunyi mendarmabaktikan tenaga, ilmu, dan pemikirannya untuk kemajuan negeri. Mereka yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar misalnya, adalah kelompok anak muda idealis yang mewakafkan dirinya untuk memajukan sektor pendidikan. Begitu juga mereka yang mengabdi sebagai dokter dan guru di daerah-daerah terpencil tanah air. Mereka mengabdi dengan ikhlas dan tanpa pamrih, bahkan tak jarang “gugur” dalam melaksanakan tugas dan panggilan tanah airnya tersebut.

Fenomena tersebut bagaikan oase di tengah padang gurun yang cukup menghapus dahaga kita akan potret perjuangan kaum muda yang gigih membangun negeri. Namun dengan segala penghormatan akan jerih payah mereka, harus jujur diakui bahwa jumlah mereka yang patriotik tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kaum muda yang apatis, hedonis, dan tidak peduli pada bangsa dan negaranya. Kelemahan lainnya, kaum muda yang patriotik ini kurang bersatu dan cenderung berjalan sendiri-sendiri sehingga peran dan eksistensi pemuda bergerak lambat seperti siput, bukan melompat seperti katak.

Di zaman dulu, kaum pemuda beramai-ramai mengepalkan tangan dan menyorongkan tinjunya kepada kecongkakan penguasa. Mereka juga bersatu padu menyingsingkan lengan baju mengisi kemerdekaan yang baru berjalan seumur jagung. Kondisi hari ini sungguh mencemaskan. Masih ada pergerakan mahasiswa, namun mereka terkotak dan tersekat oleh perbedaan platform dan ideologi. Mereka gagal paham dalam menempatkan cita-cita akan terwujudnya bangsa yang maju dan rakyat yang sejahtera sebagai perekat perbedaan. Celakanya lagi, pergerakan mahasiswa melalui demonstrasi jalanan banyak didompleng oleh kekuatan politik, miskin wacana, dan tidak memiliki orientasi yang jelas.

Tantangan kebangsaan saat ini sungguh kompleks. Indonesia bersiap menyambut datangnya bonus demografi, yakni sebuah kondisi dimana jumlah penduduk usia produktif akan lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia nonproduktif. Kondisi yang diramalkan akan terjadi pada periode 2020-2030 ini di satu sisi akan menjadi peluang, namun di sisi lain bisa menjadi bencana. Agar kondisi ini benar-benar memberikan manfaat, maka partisipasi pemuda di segala lini pembangunan nasional menjadi sebuah keharusan. Segenap pemuda Indonesia dituntut untuk berkontribusi, apapun profesi mereka, dimanapun mereka berada, tidak peduli apa platform dan ideologi mereka.

Para pemuda Indonesia tidak selalu dituntut untuk seia-sekata dengan pemerintah. Mereka bisa bergerak melalui jalur masyarakat madani sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuasaan. Mereka bisa menjadi aktivis lingkungan hidup yang kukuh menjaga keseimbangan dan kelestarian alam, mengabdi sebagai jurnalis yang selalu menyuarakan kebenaran, atau menjadi agen-agen budaya yang mempromosikan keunggulan budaya bangsa yang adiluhung. Darma bakti kepada bangsa dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa kecuali.

Pemuda adalah generasi emas penerus bangsa. Di pundak merekalah, asa kemajuan bangsa Indonesia diletakkan. Kita pasti berharap para pemuda Indonesia lebih terpanggil jiwanya untuk mengabdi kepada negeri, tidak semata-mata bergerak untuk urusan perut dan kekuasaan. Sudah menjadi kewajiban merekalah untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat. Seperti kata Gie, “…Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur…”.

Penulis: Boy Anugerah, Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI, Alumnus Diklat Ketahanan Nasional Pemuda Kemenpora RI 2013

Exit mobile version