Main Ayunan dan Bunga Krisan – Puisi Fatah Anshori

Seorang Gadis yang menunggu dengan Ayunannya/Foto: ann farida wiryoanoto

Daster dan Perut yang Membuncit

Huruf-huruf yang kau tulis dan eja
sesudah hujan reda, seperti anak
kecil yang bermain bola,
polos dan sesekali membuatku tertawa.

Kau terlalu pandai memainkan segalanya
membuat sore yang redup dan dingin
menjadi nyala dan hangat untuk di tinggali

Karena aku membayangkan kau dengan
daster dan perut yang membuncit
membuka pintu, mengantarkan secangkir kopi
hangat. Lalu menemaniku di teras rumah, mengeja
huruf-huruf mungil di buku puisi Pablo Neruda.

Lalu kita akan lupa ternyata sore hari
dan hujan rintik-rintik. Tak begitu menarik
jika kau dan aku. Menjadi kita.

Kembangbahu, 2017

Pada Pagi yang Bisu

Pada pagi yang bisu
aku menunggumu di sudut jalan
Beberapa orang pergi dan melahirkan
cerita-cerita kosong.

Loket pendaftaran masih terkunci
kursi-kursi panjang di ruang tunggu
masih memelihara dingin pagi hari.

“Menanti rupanya bukan pekerjaan mudah.”

Aku setuju, jika itu serupa menyusuri
jalan panjang yang menolak ujung
dan membenci pemberhentian. Menolak
kios-kios kecil, meski hanya untuk
sekedar rehat dan minum kopi.

Hari itu adalah bayang-bayang dimana
aku menemukannya di bening senyummu.

Lamongan, 2017

Tentang Batu dan Tembok-Tembok Disini

Tembok-tembok disini selalu mengabarkan
duka. Dan memelihara rasa sakit yang panjang,
orang-orang merintih melihat dirinya
sebagai batang yang rapuh dan minta untuk
di kebumikan.

“Biar kelak tumbuh jiwa yang baru, dan biarkan aku mati mengubur badan yang remuk ini.”

Daun-daun luruh di kaki pohon. Lalu kenangan
mengambang di kedalaman langit.
Puskesmas kecamatan menjadi sepi dan
memiliki bulir-bulir yang menetes dari ujung mata.

Aku kadang juga mengambang pada cerita-cerita
orang kampung tentang anak yang biadab
dan azab yang menimpanya.

“Kau bisa lihat batu itu?”

Lalu aku dan mereka seperti di sulap
menjadi anak-anak baik yang pengecut.

Lamongan, 2017

Bunga Krisan

yang lebih hening di kening adalah dirimu yang bayang-bayang di ujung pintu.

Ruangan yang kosong barangkali adalah sarang bagi, benda-benda mati. Dan penjara bagi benda-benda bernyawa.

Bunga Krisan yang malang. Menanam dirinya di ruang hening. Dan membiarkan ringkih tubuhnya di hajar kesepian yang berpesta.

Untungnya huruf-huruf kecil, adalah anak yang sesekali mengajaknya bermain. Ketika kesendirian berkali-kali datang untuk mengajaknya berkencan.

Lamongan, 2017

Main Ayunan

Aku tidak mungkin mengajakmu jalan
bersama. Membiarkanmu melihat ngarai
penderitaan yang menganga.
Sementara kau adalah anak kecil
yang suka main ayunan di kebun binatang
kecamatan.

Maka dari itu, Aku hanya ingin melihatmu—main ayunan—dari sela-sela pagar bambu.

Tapi aku harap kau memaksa untuk ikut
denganku.

Surabaya, 2017

Fatah Anshori

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015), beberapa tulisannya termuat dalam tiga buku antologi. Ia juga aktif sebagai pustakawan di Rumah Baca Aksara, yang ia dirikan bersama teman-temannya di dusun tempat ia tinggal sekarang. Beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di beberapa media online.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version