NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Gubernur Papua Lukas Enembe kini tengah dihadapkan dengan perkara hukum menyusul dugaan korupsi dalam penggunaan anggaran pendidikan berupa beasiswa untuk mahasiswa di Papua. Anggaran itu diduga tidak digunakan sesuai peruntukannya dalam tahun anggaran 2016.
Pada Selasa (22/8), penyidik Direktorat Tindakn Pidana Korupsi Bareskrim Polri menjadwalkan pemeriksaan Lukas Enembe. Diketahui, Lukas Enembe tidak memenuhi undangan Bareskrim Polri yang bermaksud meminta keterangan darinya dalam kasus tersebut.
Praktisi hukum pemilu, Laode M. Rusliadi Suhi mengatakan, diperiksanya Lukas Enembe dalam kasus dugaan korupsi beasiswa ini membuat karir politik Gubernur Papua terhambat. Apalagi, kata dia, Lukas Enembe akan maju lagi dalam bursa Calon Gubernur Papua untuk Pilkada 2018 mendatang.
Baca: Gubernur Papua Terancam Diperiksa KPK
Rusliadi menilai, dengan bergulirnya kasus tersebut menguntungkan lawan politik Lukas Enembe. “Yang jelas, dalam kurun waktu lima bulan terakhir posisi Lukas Enembe masih belum aman karena adanya proses hukum,” kata Rusliadi saat dihubungi redaksi, Jakarta, Rabu (23/8/2017).
Kata Rusliadi, jika mengacu pada Peraturan KPU No.1 tentang Tahapan Jadwal Pilkada Serentak bahwa jadwal pendaftaran calon dimulai 8-10 Januari tahun depan, bisa saja pencalonan Lukas Enembe gugur dan batal. Apalagi jika tak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU Np.10 tahun 2016. Pasal itu berbunyi; “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tidak pernah (tidak sedang) sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana“.
Artinya, tidak ada ruang bagi terpidana untuk menjadi peserta Pilkada. Selain dugaan korupsi beasiswa, Lukas Enembe juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Pilkada Tolikara. Penetapan itu dilakukan Penyidik Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) pada Senin (10/7) lalu. Rusliadi menilai, tarik ulur kepentingan dalam persoalan hukum yang menimpa Lukas Enembe tergambar dari kasus hukum Pilkada Tolikara. yang berbeda penerapan hukumnya antara Polda Papua dan Kejaksaan Tinggi Papua yang tergabung dalam Gakkumdu.
Pasalnya, kata Rusliadi, hal yang merusak demokrasi di Papua ialah suara noken dan intervensi kepala daerah terhadap penyelenggara KPU. “Contohnya Kabupaten Jayapura, Kabupaten Yepen dan lain-lain. Belum lagi politik uang (money politic) yang sangat kental,” kata dia.
Terakhir, Rusliadi mengungkapkan kondisi geografis dan pendidikan politik masyarakat setempat amat rendah. Parpol juga terlalu transaskional. Sehingga, membangun persepsi dan opini bahwa Papua banyak uang.
“Khususnya di Otsus (Otonomi Khusus). Sehingga ini membuka peluang korupsi,” tandasnya. (ed)
Editor: Eriec Dieda