BADAI BULAN DESEMBER
Tiga kata yang kutitipkan padamu agar rindu dan kemesraan jangan pernah membisu.
Badai Bulan Desember, begitulah ilham itu datang dalam wujud mantra pada puncak pendakianku.
Bumi dan langit telah lama mengirim pesan padaku, tapi sorak-sorai dan bising kebencian telah menjadi palang-pintu akan indahnya suara alam yang terus menggema dalam lembut sujudku.
Ambrol sudah jantungku, sebab hanya arang dan abu yang selalu diburu para pemburu kekuasaan yang begitu tega menjarah nuraniku.
Desember kelabu, tapi bukan itu maksudku.
Badai Bulan Desember akan kutelan pelan-pelan bersama secangkir kopi dan sepotong singkong pada sarapan pagiku.
Baca : Air Mata Aceh, Serambi Makkah – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch
LANGIT DI ATAS PIDIE
Seusai Subuh, Aceh kembali bersujud.
Langit di atas Pidie berwarna lembayung, saat rindu dan pilu bertemu dalam satu senandung.
Pada sisa-sisa gema adzan subuh, ada jejak malaikat Izrail yang tiba-tiba ada lalu sekejap kemudian menjauh.
Tak sampai satu menit Aceh meronta, saat getar menggelepar dengan cinta yang sabar. Tegar atau terkapar, tapi yang kusaksikan hanyalah ribuan rindu yang terbang menuju pulang ke Padang Mahsyar.
Sembari berkubang di bening embun, ada yang meleleh di pelataran hati, semacam doa tapi berwarna jingga, semoga terang segera datang di langit Pidie yang kian benderang.
*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.
Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.