NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Akhir-akhir ini wajah pemerintah Indonesia tengah menampakkan sikap ambigunya. Mulai dari pernyataan Presiden Jokowi tentang ekonomi Indonesia yang mendapat kritik tajam dari Jake Van Der Kamp hingga kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang paradoks.
Lucunya, saat ribuan buruh menyampaikan aspirasi diperingatan May Day awal Mei lalu, yang tengah menuntut haknya justru diklaim pemerintah sebagai aksi ‘sinis’ terhadap penguasa. Aksi mereka dituding sebagai aksi yang ditunggangi parpol oposisi pemerintah.
Soal aspirasi tentang penghapusan pekerja alih daya atau outsourcing dan pemagangan serta revisi jaminan sosial misalnya juga dituding sebagai aksi politis, karena pimpinan aksi Said Iqbal pada pilpres 2014 silam pernah mendukung Prabowo.
“Kami hanya meminta agar dicabut PP 78/2015. Karena dalam dua tahun terakhir kesejahteraan dan perlindungan terhadap buruh menurun drastis,” ujar Iqbal dikutip dari Antara, 30 April 2017 lalu.
Ironisnya, keterlibatan personal Said Iqbal pimpinan KSPI dan Eggi Sudjana selaku ketua PPMI dalam mendukung Prabowo 2014 silam selalu dikaitkan-kaitkan dengan aksi buruh yang belakangan ini kian tajam menuntut hak-hak yang telah dijanjikannya. Termasuk dengan rencana aksi buruh menolak kenaikan TDL 10 Mei 2017 mendatang.
Ketua Pelaksana Kelompok Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Baiq Ani jelang aksi May Day lalu pernah meminta agar aspirasi para kaum buruh untuk tidak dipolitisir. Dirinya mengaku gerah.
“Jangan jadikan kami buruh sebagai komoditas politik. Buruh bukanlah alat dan jembatan,” tutur dia dilansir Liputan6 (30/4/2017).
Bahkan beberapa aksi yang dilakukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama buruh dituding sebagai aksi untuk membenci pemerintah. Media-media meistrem tanah air dengan halus menggiring opini publik bahwa aspirasi para buruh disebut politis.
Situasi ini kemudian dikaitkan dengan arus politik Pilkada DKI. Dimana aspirasi para buruh yang menagih hak-haknya sebagaimana dijanjikan penguasa saat kampanye dulu justru dipolitisir sebagai aksi ‘bayaran’.
Negara seakan menyikapi aksi buruh ini sebagai sesuatu yang hoax (aspirasi palsu _red). Begitu juga dengan peristiwa pembakaran karangan bunga untuk Ahok pada aksi May Day 2017 kemarin. Buruh tak luput menjadi objek sasaran. Pembakaran karangan bunga terus diranning oleh media-media meistrem untuk menutup aspirasi mereka. Sebaliknya aksi buruh dituding oleh penguasa sebagai aksi untuk membenci Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
“Saya diberitahu kawan-kawan wartawan tentang pembakaran bunga tersebut. Dan saya cek ke bawah, kawan FSPMI dan KSPI tidak ada yang terlibat,” ujar Said Iqbal dikutip dari Tirto.ID, (7/5/2017).
Soal dukungan FSP LEM SPSI kepada pasangan Anies-Sandiaga dalam Pilkada DKI, ia tegaskan tidak ada hubungannya dengan aksi bakar karangan bunga untuk Ahok. “Tidak ada hubungannya, Bung,” kata Iqbal.
Pertanyaannya, lantas harus meminta kepada siapa kesejahteraan, ketika semua aspirasi buruh yang disampaikan selalu dipolitisasi oleh penguasa? Dituduh politis lah, aksi bayaran lah, aspirasi hoax, ditunggangi parpol dan berbagai asumsi miring lainnya. Padahal mereka benar-benar membutuhkan kehadiran negara untuk mengurai lilitan hidup yang menjerat mereka.
Inilah kuasa rezim saat ini. Ketika fakta dan kebohongan tumpang tindih. Aspirasi rakyat dibungkam dengan menyebut itu semua (red aspirasi buruh) sebagai hoax.
Pewarta/Editor: M. Romandhon