Komunis Si Pembonceng Pancasila

Salah satu ormas pemenangan Partai Komunis Indonesia (PKI), Bara pada Pemilu 1955. Foto: Dokumen

Salah satu ormas pemenangan Partai Komunis Indonesia (PKI), Bara pada Pemilu 1955. Foto: Dokumen

NUSANTARANEWS.CO – Dewan Pakar ICMI, Adian Husaini dalam sebuah ulasannya menjelaskan bahwa sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pancasila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia.

Pergulatan pemikiran itu, kata dia, secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante. Dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia.

“Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia,” ungkap dia dilansir dari catatan tertulisnya.

Mengutip mantan Wakil Kepala BIN, As’ad Said Ali, Adian menjelaskan munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis melalui PKI ke dalam blok pendukung Pancasila.

“Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif,” tulis As’ad dikutip Adian dari buku Negara Pancasila.

Ketua Program Doktor Universitas Ibn Khaldun Bogor ini mengungkap bahwa dalam pidato Kasman Singodimedjo sebagai perwakilan tokoh Islam di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila.

Kasman menyebut PKI atau komunis hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme mereka. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi ‘kebebasan beragama’. Termasuk dalam cakupan ‘kebebasan beragama’, adalah ‘kebebasan untuk tidak beragama.’

“Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah,” ujarnya.

Dalam Sidang Konstituante tahun 1957, Kasman mengingatkan; “Saudara ketua, sama-sama tokoh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umumnya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!” tulis Kasman Singodimedjo 75 Tahun.

Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh PKI, Ir. Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal.

Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: “Betapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu ‘grootste gemene deler’ yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam.”

Bahkan Sakirman mengakui bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup,” pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante.

Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: “Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana.”

Kasman berkomentar, “Itu artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat atau boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka.”

Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu dibubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, Kasman dan para tokoh Islam lainnya, menerimanya karena telah sah secara konstitusional. (*)

Editor: Romandhon

Exit mobile version