NUSANTARANEWS.CO – Panggung demokrasi dunia sepanjang tahun 2016 mencatat beberapa peristiwa besar terjadi. Satu diantara peristiwa besar sepanjang 2016 adalah tentang keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Publik dunia benar-benar dihebohkan dengan hasil refendum Bretain Exit (Brexit) oleh pemerintah Inggris yang mengingkan diri keluar dari Uni Eropa. Peristiwa Brexit ini pun tak pelak berhasil menyedot perhatian publik dunia.
Braxit dan Tantangan Demokrasi Inggris
Tepatnya pada pertengahan Juni 2016 lalu, tonggak sejarah baru ditorehkan oleh Negeri Ratu Elizabet tersebut. Dimana peristiwa besar ini menjadi penanda keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Berdasarkan hasil vote yang dilakukan sebanyak 52% warga Inggris memilih keluar, sementara rakyat yang menginginkan Inggris tetap bertahan di Uni Eropa sebanyak 48%.
Perolehan hasil vote yang berbeda tipis ini selanjutnya melahirkan pergolakan dari sebagian warga Inggris yang tak menginginkan Brexit. Saat itulah iklim demokrasi Inggris benar-benar tengah diuji. Mundurnya David Cameron dari kursi perdana menteri adalah bukti bagaimana pergolakan demokrasi turut terimbas adanya Brexit.
Dampak Brexit terhadap iklim demokrasi di Inggris terkait erat dengan nasib para imigran yang diperkirakan mencapai 1,2 juta orang. Mereka terancam dideportasi. Sebaliknya, Brexit justru membuat partai sayap kanan Inggris dan kelompok ultra-nasionalis di daratan Eropa gembira.
Kelompok partai sayap kanan Inggris, salah satunya adalah Partai UKIP, pimpinan Nigel Farage, yang juga sebagai sosok rasis. Menurut Nigel, Inggris mulai kebanjiran pengungsi karena bergabung dengan UE. Dalam kampanye Brexit, UKIP membuat poster rasis soal gelombang pengungsi Suriah ke Inggris.
Wajah Demokrasi AS Terkait Terpilihnya Trump
Kegaduhan demokrasi juga menjalari Amerika Serikat usai berlangsungnya pemilihan presiden pada 9 November 2016 lalu. Dimana lantaran tak terima dengan hasil voting atas terpilihnya Donald Trump sebagai presiden, memicu gelombang demontrasi besar pecah di beberapa kota-kota besar di Amerika Serikat.
Ini menyusul usai ricuh pada demo menentang Donald Trump di Portland, Oregon. Selanjutnya masa anti Trump terus menyebar ke seluruh penjuru negeri Paman Sam. Mulai dari New York, Los Angeles hingga Chicago.
Situasi tersebut praksis membuat situasi di Amerika mencekam. Terlebih setelah adanya kasus penembakan terhadap salah seorang demonstran di Porland, seakan menjadi sinyal bagaimana iklim demokrasi di Amerika Serikar kian tidak sehat.
Para demonstran menilai, Donald Trump dianggap telah mengancam hak-hak sipil dan asasi warga Amerika. Sejak kemenangan mengagetkan Trump atas Hillary Clinton, aksi demo menentang hasil pemilu telah terjadi di sejumlah kota-kota AS. Sebagian besar aksi demo berujung damai, tapi tak sedikit yang berakhir chaos. (Adhon/Red-01)